JAKARTA(TEROPONGSENAYAN) --Ruas tol Sedyatmo, atau sering disebut sebagai tol bandara sedianya akan dinaikkan tarifnya per 14 Februari 2019, sebesar Rp 500. Namun hal tersebut mendadak dibatalkan.
PT Jasa Marga selaku operator tol Sedyatmo, diminta oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia (PUPR RI) dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), untuk mensosialisasikan terlebih dahulu sebelum kenaikan tarif dieksekusi.
"Yang jelas saat ini PT Jasa Marga telah mengantongi legalisasi kenaikan tarif tol Sedyatmo tersebut," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia(YLKI),Tulus Abadi, Selasa (5/3/2019).
Tulus pun mempertanyakanterkait sosialisasikenaikan tarif yang dimaksud. Apakah cukup dengan sosialisasi saja danapa sajayang dianggap perludisosialisasikan.
Sebab, kata dia,yang paling urgent untuk tol Sedyatmo bukan persoalan sosialisasi kenaikan tarifnya, tetapi bagaimana keandalan jalan tol ruas Sedyatmo tersebut.
"Jalan Tol Sedyatmo secara empirik tidak pantas lagi disebut sebagai tol bandara. Boleh jadi tol Sedyatmo semula memang didedikasikan untuk akses ke bandara, tetapi saat ini secara empirik sudah runtuh, mengingat trafik yang melintasi tol Sedyatmo tidak semua menuju ke bandara, tetapi banyak yang ke luar bandara, seperti ke Cengkareng, Rawabokor, dan sekitarnya, bahkan ke Tangerang. Mix traffic inilah yang menyebabkan akses ke bandara sering terganggu, dan mengakibatkan kemacetan, karena terhambat exit tol di sekitar tol Sedyatmo," paparnya.
Tulus mengungkapkan,tata ruang dan tata guna lahan di sekitar tol Sedyatmo sangat buruk. Banyak apartemen dan perumahan baru, hotel, mal, dan lain sebagainya. Sehingga, kondisi ini berdampakpada keandalan tol Sedyatmo tersebut.
Menurut dia, keandalan Tol Sedyatmo akan makin menurun jika kapasitas penumpang Bandara semakin meningkat. Sementara saat ini penumpang bandara Soetta mencapai 65 juta lebih. Ditargetkan akan mencapai 100 juta pada 2025. Hal ini seiring dengan pembangunan runway 3, dan bahkan terminal 4 bandara Soetta.
"Jika jumlah penumpang 100 juta ini tercapai, artinya trafik di tol Sedyatmo akan makin padat dan keandalannya makin menurun. Artinya PT Jasa Marga selaku operator tol Sedyatmo, tidak akan mampu memenuhi berbagai indikator untuk meningkatkan pelayanan yang tercakup dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol," jelasnya.
"Kecuali jika pemerintah bisa memindahkan 30% pengguna tol Sedyatmo menjadi pengguna KA bandara, yang sampai sekarang masih kembang kempis, karena sepi penumpang. Bisa kita bayangkan jika 100 juta penumpang bandara Soetta semuanya menggerojog via jalan tol Sedyatmo, alamaaak, macam mana pula keandalan jalan tol Sedyatmo?," imbuhnya.
Tulus pun menegaskan, dengan mengacu pada kondisi empirik seperti itu, maka tarif tol Sedyatmo tidak layak lagi untuk dinaikkan.
"Benar operator tol, punya hak yang cukup kuat untuk menaikkan tarif tol per dua tahun. Namun, hal itu bisa dilakukan jika keandalan dan kemampuan jalan tol bisa dipenuhi, melalui standar pelayanan minimal sebagai pra syarat untuk kenaikan tarif tol," jelas Tulus.
"Karena itu, tanpa adanya rekayasa lalu lintas yang mumpuni untuk mengembalikan keandalan jalan tol, maka kenaikan tarif tol Sedyatmo adalah bentuk perampasan hak konsumen sebagai pengguna jalan tol," Tulus mendambahkan.(Alf)