Setelah bikin kisruh quick count lembaga survey "binaan" atau "bayaran" maka berlanjut dengan slow count KPU. Lalu angka prosentase seperti diatur konstan "menyesuaikan" quick count. Aneh bila input tidak dipilih tapi acak mestinya terjadi fluktuasi yang mungkin bergantian naik turun prosentase. Nyatanya tidak. Dugaan input "pilihan" pantas mengemuka. Persoalannya angka prosentase konstan KPU dapat menjadi alat mempengaruhi opini.
Secara hukum yang benar adalah input bertahap. KPUD Kabupaten/Kota belum boleh mengumumkan kepada publik angka perolehan Pilpres maupun Pileg sebelum selesai penghitungan resmi seluruh PPK di Kabupaten/Kota. Demikian juga KPUD Propinsi menunggu hasil KPUD Kabupaten/Kota. Bila mengumumkan secara "eceran" maka itu bernilai opini. Bisa benar dan bisa juga merupakan penyesatan opini. Disini bahaya mempublikasikan secara "eceran" yang tidak komplit. Permainan dapat dilakukan.Demikian juga dengan publikasi KPU yang memang "slow" membuka peluang permainan yang berefek penyesatan opini. Jadi baiknya KPU tidak mempublikasikan secara "eceran" yang tak lain angka "ceceran". Bisa saja itu input data pilihan. KPU baru mengumumkan angka dan prosentese setelah angka dan prosentase itu fixed hasil resmi ketuk palu pleno KPUD seluruh Propinsi. Ini Fair dan menghindari penyesatan opini dengan input yang tercecer tersebut.
Oleh karena itu jika memang berniat menghilangkan kecurigaan, maka daripada slow count yang bikin jengkel, lebih baik stop count saja. Tunggu sampai penghitungan resmi seluruh KPUD Propinsi selesai. Itu angka dan prosentase resmi dan bisa dipertanggungjawabkan. Soal puas atau uji lain, baru berbicara sengketa Pemilu melalui Mahkamah Konstitusi. Karena dengan cara seperti ini, KPU akan menjadi sorotan terus menerus. Sementara transparansi input masuk dari TPS mana tidak bisa dipublikasikan. Ini yang membuka celah pintu kecurigaan.
Dengan stop count KPU masyarakat dan rakyat akan senantiasa menyaksikan secara seksama penghitungan di tingkat daerahnya. Ini positif dan tidak dipengaruhi hitung hitung "eceran" KPU yang banyak "human eror" nya. Lalu dituduhlah menjadi "human order". KPU menjadi bahan olok-olok soal ketidakmampuan menghitung. Lembaga Penyelenggara Pemilu menjadi merosot martabatnya.
Dengan berhentinya publikasi quick count lalu berhenti publikasi slow count, rakyat akan lebih tenang menunggu sesuai tahapan penghitungan bertahap dari TPS, PPK hingga KPU nantinya. Ini bertindak tertib dan sistematis. Kejujuran dan keadilan dapat lebih terpantau.
Moga memang niatnya baik . Jika niatnya buruk, tentu persoalan menjadi lain.
Bandung, 1 Mei 2019 (*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #kpu #pilpres-2019