Dalam diskursus mengenai demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia, keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) telah menjadi sumber kontroversi yang tak kunjung padam. Perpu ini, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang, awalnya diterbitkan untuk merespons dinamika sosial politik tertentu, khususnya terkait dengan pembubaran ormas-ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Natalius Pigai, yang kini menjabat sebagai Menteri Hak Asasi Manusia, menilai bahwa Perpu tersebut lahir dalam konteks yang sangat subjektif dan represif. Menurutnya, Perpu ini bukan hanya mengatur keberadaan ormas, tetapi juga secara tidak proporsional membatasi hak berserikat dan berkumpul yang dijamin dalam konstitusi. Ia menegaskan bahwa Perpu Ormas 2017 telah mengunci keran demokrasi di Indonesia, mempersempit ruang gerak masyarakat sipil, dan berkontribusi terhadap penurunan indeks demokrasi nasional.
Data objektif mendukung pandangan ini: beberapa laporan internasional menunjukkan bahwa sejak penerbitan Perpu tersebut, skor indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Dari kategori "demokrasi penuh" atau "demokrasi cacat yang prominen", Indonesia kini lebih sering dikategorikan sebagai "fraud democracy" — demokrasi yang prosedural tetapi cacat dalam substansi kebebasannya.
Karena itu, Pigai menyambut baik dan bahkan mendorong revisi atas UU Ormas tersebut. Ia menekankan bahwa revisi ini bukan upaya untuk melindungi ormas anti-Pancasila, melainkan sebuah langkah strategis untuk mengembalikan semangat demokrasi, membuka kembali ruang partisipasi publik, dan memperkuat hak-hak sipil.
Pigai menambahkan, dalam melihat upaya revisi ini, publik sebaiknya tidak terjebak dalam perspektif negatif. Alih-alih mencurigai revisi sebagai bentuk pembiaran terhadap kelompok radikal, masyarakat perlu memahami bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul adalah pilar utama demokrasi. Revisi UU Ormas seharusnya dilihat sebagai bagian dari usaha untuk memperbaiki kualitas demokrasi, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap negara, serta mempertegas bahwa negara berdiri untuk melindungi semua hak konstitusional warganya tanpa kecuali.
Sebelumnya, Pigai juga telah melakukan konferensi pers yang menyerukan pentingnya revisi ini, khususnya terhadap Perpu Nomor 2 Tahun 2017, agar ketentuan pembubaran ormas tidak lagi didasarkan pada penilaian sepihak eksekutif, melainkan harus melalui proses hukum yang adil, transparan, dan akuntabel.
Secara objektif, revisi terhadap UU Ormas harus mempertimbangkan beberapa prinsip fundamental:
Kepastian hukum: tidak boleh ada pembubaran ormas tanpa proses pengadilan yang adil.
Proporsionalitas: tindakan pembubaran harus menjadi upaya terakhir setelah mekanisme dialog dan perbaikan ditempuh.
Penghormatan terhadap hak asasi manusia: negara wajib melindungi kebebasan berorganisasi sepanjang tidak ada pelanggaran hukum yang jelas dan terbukti.
Penguatan demokrasi substansial: revisi harus menjadi pintu masuk untuk mendorong demokrasi yang lebih sehat, inklusif, dan partisipatif.
Dengan demikian, revisi UU Ormas bukan sekadar agenda teknis perubahan hukum, tetapi merupakan ikhtiar kolektif untuk memperbaiki arah demokrasi Indonesia, memastikan bahwa negara hadir tidak untuk membungkam suara rakyat, melainkan untuk memfasilitasi ruang ekspresi yang sehat dalam bingkai konstitusi.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #