Opini
Oleh Pradipa Yoedhanegara pada hari Minggu, 25 Agu 2019 - 00:47:53 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengkudeta Budi Gunawan Lewat Kisruh Papua

tscom_news_photo_1566668873.jpg
Budi Gunawan (tengah) di Stasiun MRT Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (13/7/2019). (Sumber foto : Ist)

Muncul sebuah Framing di pelbagai sosial media yang menyatakan; "BIN Gagal dan Kecolongan, terkait Rusuh di Papua". Sepertinya framing tersebut sengaja di ciptakan oleh sekelompok orang yang secara sadar melakukan provokasi kepada publik agar ada pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya rusuh di papua.

Rusuh di papua beberapa waktu lalu sepertinya tidak berdiri sendiri, dan kisruh itu terjadi pasca Presiden Jokowi menyatakan dipelbagai media massa bahwa "Susunan Kabinet telah final", begitu kata yang mulia. Suasana politik dalam negeri pun kembali menghangat pasca terbentuknya dua poros politik baru, yakni Poros teuku umar vs Poros Gondangdia.

Terbentuknya poros politik teuku umar merupakan hasil kerja keras kepala BIN Jenderal. Pol. Budi Gunawan yang diawali dengan adanya pertemuan MRT antara presiden Jokowi dengan Mantan danjen Kopassus Letjen. Prabowo Subiyanto, yang kemudian berlanjut pada jamuan "Nasi Goreng", dikediaman mantan presiden ri megawati soekarno putri yang juga ketua umum pdip yang notabene pemenang pemilu legislatif 2019-2024.

Kondisi politik tanah air kembali memanas karena disaat yang sama empat ketua umum partai politik, secara "Mendadak", bertemu di gondangdia guna membahas kepemimipinan nasional 2024-2029. Sepertinya terjadi turbulensi politik yang mengakibatkan meningkatnya eskalasi politik di negeri ini pasca terjadinya dua pertemuan tersebut yang membahas "quo vadis bangsa dimasa mendatang".

Menarik sekali kondisi politik tanah air pasca pilpres dan pileg yang dilaksanakan secara serentak di negeri ini, begitu dinamis seperti sebuah irama musik yang di mainkan dengan orkestra. Tarik menarik politik terjadi begitu kentara, terlihat dari banyaknya parpol pendukung tuan presiden dan ormas pendukung tanpa malu meminta jatah menteri kabinet, karena sudah merasa berjuang dan berkeringat untuk pemenangan tuan presiden.

Situasi ini menjadi dilema bagi tuan presiden, karena banyak parpol yang menjadi pendukung utamanya meminta jatah menteri, tapi tidak punya kursi satu pun di parlemen. Selain itu sang ketua umum partai berlogo banteng bermoncong putih pun; membuat statement keras sebagai pemenang pemilu, maka partainya paling pantas mendapatkan kursi menteri terbanyak di kabinet Presiden Jokowi, dan itu dinyatakan dalam Konggres partai beberapa waktu yang lalu.

Pasca menghangatnya politik di lingkaran istana, tiba-tiba saja terjadi gejolak di tanah papua. Terjadi kerusuhan yang di picu oleh "isyu dugaan persekusi dan rasisme" di sejumlah daerah, seperti surabaya, malang dan semarang yang merupakan basis pemilih dan pemenangan presiden jokowi sendiri. Sempat viral di media sosial seolah ada sekelompok ormas dan masyarakat yang melakukan tindakan rasis di dua lokasi tersebut.

Entah siapa yang pertama kali mengupload video dugaan persekusi dan rasis tersebut sehingga menjadi pemicu terjadinya rusuh di papua?! Yang kemudian isyu "dugaan persekusi dan rasisme" tersebut di mainkan oleh organisasi papua merdeka sebagai alat untuk memisahkan diri dari negara kesatuan republik indonesia, dengan memobilisasi massa yang begitu masiv dan membuat kerusuhan di papua barat.

Seluruh media mainstream dan media sosial juga secara masiv dan gamblangnya memberitakan hal tersebut dan menyajikannya secara terus menerus kehadapan publik, bahkan ada seorang buzzer yang menjadi pendukung fanatik tuan presiden selama ini, dengan begitu provokatif langsung mentweet "Rusuh papua disebabkan oleh ormas radikal, yang mengusir mahasiswa papua"?!

Seolah kerusuhan papua terjadi secara spontanitas dan massa bergerak sporadis tanpa adanya aktor intelektual atau pun penggerak massa dari kejadian rusuh tersebut. Secara pribadi saya anggap hal tersebut sangatlah aneh dan janggal serta menjadi tanda tanya besar bagi publik?! Karena hal rasis yang terjadi di surabaya, malang dan semarang tersebut, pernah terjadi sebelumnya dengan menyerang kehormatan tokoh papua natalius pigai yang dilakukan oleh para ahoker dan pendukung tuan presiden sendiri pada medio juni 2017 silam.

Sekedar mengingatkan kembali memory publik pada medio juni 2017 pernah terjadi persekusi dan rasisme yang menjadi pembiaran oleh negara terhadap tokoh papua natalius pigai. Kejadian tersebut juga sempat menjadi viral di media sosial, tapi tidak menjadikan rakyat papua berbuat anarkis dan juga tidak dijadikan isyu oleh kelompok OPM untuk menyerang pemerintah jokowi saat itu.

Kisruh yang terjadi di papua saat ini pun hampir sama dengan kejadian yang menimpa sahabat natalius pigai, yaitu adanya "dugaan persekusi dan rasisme". Yang berbeda dari dua kasus di atas adalah di mainkannya sentimen pro dan kontra nkri menjelang dilaksanakannya hari kemerdekaan 17 Agustus. Disini saya melihat adanya penumpang gelap yang ingin memanfaatkan kisruh papua tersebut sebagai "bargaining position"sekaligus alat tekan terhadap pemerintah karena isyu rasisme tersebut menjadi headline dan pembicaraan dunia.

Media mainstream dan sosmed beserta para buzzer memframing seolah papua tidak butuh pembangunan, karena ada yang salah dari pembangunan di papua? Padahal beberapa waktu yang lalu media mainstream dan pemerintah dengan begitu bangganya memviralkan pembangunan infrastruktur trans papua yang begitu masiv kepada publik. Tiba-tiba saja viral pernyataan gubernur papua barat Lukas Enembe yang menyatakan; "orang papua butuh kehidupan, bukan pembangunan.

Framing-framing ini jelas di mainkan oleh media mainstream yang dengan bebasnya mengulas persoalan papua secara terus menerus. Di era presiden jokowi Jarang sekali media sosial maupun media mainstream memberitakan sesuatu yang dapat mendeskreditkan pemerintah, namun tiba-tiba saja media mainstream banyak mengulas hal yang sangat menohok dan memojokan pemerintah pusat.

Isyu kesenjangan sosial maupun phobia papua, terus menerus di mainkan secara masiv melalui pelbagai media. Pecahnya kerusuhan yang terjadi di papua sepertinya bukan kejadian spontanitas, karena terjadi setelah finalnya komposisi kabinet. Kejadian di papua hampir mirip dengan tragedi 1974, dimana terjadi perebutan pengaruh orang di sekitar istana yang membuat jatuhnya jendral, Soemitro Pangkokamtib saat itu.

Sebagai sebuah analisa saya melihat dari kerusuhan papua tersebut, Jenderal. Budi Gunawan menjadi target untuk di kudeta karena; "BIN dianggap gagal dan kecolongan atas kisruh di papua". Kenapa harus BG yang di targetkan untuk dijatuhkan? Karena jenderal BG adalah orang paling kuat dan berpengaruh bagi Jokowi maupun ketua umum pdip, dan tragedi papua adalah ajang untuk mempermalukan BIN serta menurunkan posisi tawar BG di mata Presiden maupun publik.

Kemampuan Jenderal BG menyatukan dua kutub yang berbeda antara pemerintahan jokowi dan kekuatan oposisi prabowo subiyanto, serta ketua umum pdip megawati soekarno putri, menjadikan posisi sang jenderal sebagai orang paling berpengaruh di negeri ini. Jadi wajar adanya upaya untuk menyingkirkan sang jenderal dari tragedi kisruh diatas.

Terjadinya poros teuku umar juga berkat andil sang jenderal BG, kemampuan BG menyatukan tokoh-tokoh bangsa wajib diapresiasi dan di acungi jempol. Sebagai seorang kepala BIN sang jenderal cukup lincah masuk wilayah politik, yang kemudian langkahnya mengejutkan para politisi di sekeliling istana maupun di sekitar ketua umum pdip.

Tebentuknya poros teuku umar yang di inisiasi oleh BG, menjadi ancaman elit politik dan kekuasaan di sekitar istana. Karena poros teuku umar apabilaterbentuk maka komposisi pemerintahan hanya melibatkan paling banyak tiga partai politik pemenang pileg yakni Pdip, golkar dan Gerindra.

Poros teuku umar bukan sekedar wacana, niat menyatukan tokoh bangsa bisa menjadi pemicu kemarahan elit politik yang terus memainkan isyu panas seputar rusuh akibat tindakan rasisme segelintir orang. Untuk itu kompartemen didalam BIN maupun institusi intelijen dibawah Polri maupun TNI harus membuka analisa ke arah pemakzulan jenderal BG sebagai sebuah bahan kajian terkait kerusuhan berbau rasis yang merembet ke sejumlah daerah di Indonesia.

Sebagai pesan penutup, bukan tidak mungkin kisruh papua akan menjadi pintu masuk untuk memakzulkan sang jenderal BG karena manuvernya yang mengganggu banyak politisi dan kepentingan politik lainnya. Untuk itu selayaknya rakyat jangan mau terprovokasi atas adanya framing yang menyatakan "BIN Gagal dan Kecolongan", karena itu merupakan upaya untuk mengadu domba sesama anak bangsa.

Waallahul Muafiq illa Aqwa Mithoriq,
Wassallamuallaikum Wr, wb
Jakarta, 25 Agustus 2019 (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pilpres-2019  #pemilu-2019  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Libur Nataru 2024-2025: Momentum Kebersamaan dan Tantangan Mobilitas Nasional

Oleh Muchlis Ali
pada hari Jumat, 20 Des 2024
Jakarta – Libur panjang Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 (Nataru) diperkirakan akan melibatkan lebih dari 110 juta orang yang melakukan perjalanan mudik dan liburan. Mobilitas besar-besaran ini ...
Opini

Program 3 Juta Rumah Prabowo: Ambisi atau Realita?

20 Desember 2024 | 17.14 WIB Presiden Prabowo Subianto meluncurkan program besar berupa pembangunan 3 juta rumah per tahun, yang disebut sebagai langkah strategis untuk mengatasi krisis perumahan ...