Opini
Oleh Hersubeno Arief (Wartawan senior dan pemerhati publik) pada hari Senin, 26 Agu 2019 - 14:43:19 WIB
Bagikan Berita ini :

Aneh, Orang Papua Kok Minta Banser Dibubarkan. Siapa Bermain?

tscom_news_photo_1566805399.jpg
Ilustrasi (Sumber foto : Ist)

Pulang dari kampung halamannya di Sorong, politisi Golkar asal Papua Barat Yorrys Raweyai membawa kabar aneh dan janggal. Dia menyebut warga Papua minta organisasi Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dibubarkan.

Tuntutan pembubaran Barisan Ansor Serbaguna (Banser) itu masuk dalam poin ketiga dari tujuh tuntutan yang diajukan warga Papua kepada pemerintah RI.

Apakah Banser ada hubungannya dengan ujaran rasis kepada mahasiswa asal Papua yang terjadi di Surabaya dan Malang? Ujaran yang kemudian memicu kerusuhan di sejumlah kota di Papua Barat: Manokwari, Sorong, dan Fakfak.

Tak ada penjelasan lebih detil dari Yorrys yang kini terpilih menjadi anggota DPD. Dia hanya menyatakan bahwa tuntutan itu berasal dari warga Papua.

Kabar itu segera menjadi berita besar. Sejumlah media menjadikannya judul berita. Enam poin tuntutan lain, tidak menjadi fokus. Padahal menilik isinya, poin tuntutan lainnya jauh lebih serius. Gerakan separatisme. Memisahkan diri dari Indonesia.

Beritanya menyebar dengan cepat di sejumlah platform media sosial.
Tak lama kemudian terjadi perang tagar di medsos. Tagar#BanserUntukNegeridan#BubarkanBansermenduduki dua peringkat teratas di Twitter. Dalam trending topic dunia, tagar #BubarkanBanserberada di posisi kelima.

Hebohnya perang tagar di medsos menunjukkan info tersebut sangat menarik, unik dan memenuhi kriteria “luar biasa.” Namun kemungkinan besar juga ada yang sengaja menggoreng.

Kehadiran organisasi paramiliter sayap Gerakan Pemuda Anshor PBNU belakangan ini sering kontroversial. Mengundang pro kontra.

Tampil dengan seragam loreng hijau, mirip anggota militer, Banser justru sering berhadapan dengan organisasi dan kelompok Islam lainnya. Mereka tercatat beberapa kali membubarkan pengajian sejumlah ustad yang mereka nilai berseberangan.

Pada bulan November 2017 Banser membubarkan pengajian aktivis HTI Felix Siauw di Bangil, Jatim. Felix Siauw kembali menjadi sasaran aksi Banser ketika akan menjadi penceramah di masjid Balaikota DKI Jakarta, Juni 2019.

Ustad berjuta umat Abdul Somad juga menjadi sasaran cekal Banser. Pada bulan Agustus 2018, ribuan anggota Banser di Jepara, Jateng menggelar apel menolak kedatangannya.

Da’i muda Hanan Attaki juga pernah menjadi korban aksi Banser. Di Tegal, Jateng pengajian ustad yang dikenal dengan gerakan Pemuda Hijrah dibubarkan.

Aksi Banser ini mendapat banyak kecaman, termasuk dari kalangan internal NU. Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat Akhmad Sahal meminta agar GP Ansor tidak semena-mena.

Menjelang Pilkada DKI 2017 Banser juga berdiri berhadap-hadapan dengan kelompok umat Islam yang menentang Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok).

Ketua GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas malah memberi gelar “Sunan” kepada Ahok. Atas keberhasilannyamengubah kawasan lokalisasi pelacuran Kalijodo, Yaqult menyebut Ahok pantas mendapat gelar sebagai Sunan Kalijodo. Nama ini mirip dengan nama salah satu tokoh penyebar Islam di Indonesia, Sunan Kalijaga.

Pada Pilpres 2019 Banser yang selalu menyerukan “NKRI Harga Mati” menjadi salah satu pendukung garis keras pasangan Jokowi-Ma’ruf. Pada aksi protes kecurangan pilpres di depan Gedung Bawaslu 21-22 Mei, Yaqut mengklaim siap mengerahkan 5 juta anggota Banser membantu aparat keamanan.

Sering berseberangan dengan kelompok Islam, Banser justru memiliki reputasi lebih dekat dengan umat beragama lain. Mereka selalu hadir “mengamankan” gereja pada hari Natal dan peringatan-peringatan keagamaan agama lainnya.

Tak heran bila Gubernur Papua Lukas Enembe menyampaikan protes keras kepada Gubernur Jatim Khofifah. Sebagai tokoh Muslimat NU mengapa dia tak mengerahkan Banser menjaga asrama mahasiswa Papua?

(Adu domba)

Dengan track record semacam itu, menjadi tanda tanya besar mengapa orang Papua justru minta Banser dibubarkan. Apalagi bila dikaitkan dengan fakta bahwa nama Papua justru dikembalikan pada masa Presiden Gus Dur, tokoh besar NU.

Sebelumnya pulau di ujung Timur Indonesia oleh pemerintah Orde Baru diberi itu nama Irian Jaya. Diubah dari nama sebelumnya Irian Barat.

Kalau mau dicari-cari, satu-satunya penjelasan yang rada masuk akal mengapa rakyat Papua meminta Banser dibubarkan, barangkali adalah sikap mereka yang sering mengklaim dan meneriakkan yel-yel : Pancasila! NKRI Harga Mati! Sementara sebagian orang Papua ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Soal ini tampaknya harus dibikin terang. Apakah ada kaitannya Banser dengan aksi rasisme di Jatim. Mengingat Jatim adalah basis terbesar Banser.

Dalam beberapa video yang beredar seputar aksi pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, ada beberapa orang yang mengenakan atribut Banser. Tapi jelas tidak bisa disebut aksi itu dilakukan Banser. Banyak elemen lain yang terlibat.

Yang harus diwaspadai justru kemungkinan adanya operasi intelijen saling membenturkan antar-elemen bangsa.

Kelompok-kelompok ini—entah siapa mereka—sangat memahami posisi Banser yang kontroversial. Mereka mendorong Banser menjadi musuh bersama.

Sejauh ini operasi itu sangat berhasil. Indikatornya adalah #BubarkanBansermenjadi trending topic dunia. Pada saat bersamaan Banser didorong untuk merespon dan bereaksi.

Tercipta kegaduhan yang tidak perlu. Fokus pemerintah terpecah dan operasi pemisahan diri Papua dari bagian NKRI berjalan dengan mulus.

Seruan untuk membubarkan Banser adalah kepingan puzzle dari sebuah skenario besar. Mulai dari beredarnya video ceramah Ustad Abdul Somad, diikuti pelaporan ke polisi. Coba perhatikan siapa pelapornya dan siapa yang sibuk menggorengnya.

Tak lama kemudian ada aksi rasisme di asrama mahasiswa Papua, dan berakhir rusuh di Papua Barat.

Semua itu tidak boleh kita lepaskan dari hiruk pikuk politik nasional dan geo politik global.

Di Jakarta jelang pelantikan kabinet, sedang terjadi tarik menarik kepentingan kekuatan politik pasca bertemunya Jokowi dan Megawati dengan Prabowo. Papua bisa menjadi pintu masuk dan bargaining politik tingkat tinggi.

Dalam geo politik global, Papua adalah sebuah wilayah yang banyak diperebutkan oleh kekuatan politik dan ekonomi negara-negara adidaya dan Perusahaan multinasional.

Jika pemerintah tidak tepat dan bijak menangani Papua. Tidak tepat dan bijak menangani konflik antar-elemen bangsa, Papua bisa menjadi pintu masuk proses Balkanisasi.

Slogan Pancasila dan NKRI Harga Mati! Akan menjadi slogan masa lalu yang tak lagi berarti. end (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #banser  #papua  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...