Opini
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) pada hari Sabtu, 31 Agu 2019 - 06:53:02 WIB
Bagikan Berita ini :

Ibu Kota Baru: Legacy Berbiaya 200 Miliar Per Pejabat

tscom_news_photo_1567209182.jpeg
(Sumber foto : Istimewa)

Rakyat pantas mencurigai motif pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan. Mengapa Presiden Jokowi sangat memaksakan pemindahan itu? Padahal, Jakarta masih bisa berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Di sisi lain, bangsa dan negara ini sedang dilanda krisis multi-dimensional yang memerlukan penanganan serius oleh pemerintah.

Negara sedang menghadapi kesulitan finansial. Utang bertimbun-timbun. Di bulan Mei 2019, jumlah utang sesuai catatan Bank Indonesia (BI) mencapai USD368 miliar atau sekitar 5,267 (lima ribu dua ratus enam puluh tujuh) triliun. Dari jumlah ini, utang pemerintah mencapai 4,603 triliun.

Tahun 2019 ini, cicilan utang itu 400 triliun. Terdiri dari bunga 275.9 triliun, utang pokok 120.7 triliun. Jadi, setiap hari kita harus membayar 1 triliun lebih. Satu triliun itu seribu (1,000) miliar. Itu berarti setiap 10 menit kita bayar 7 (tujuh) miliar rupiah.

Di tengah beban utang yang sangat dahsyat ini, Presiden Jokowi tak menghiraukan anjuran para pemuka bangsa. Agar berhenti dulu membicarakan pemindahan ibu kota. Banyak masalah urgen yang harus dipririotaskan Presiden. Khususnya gejolak politik dan keamanan di Papua dan Papua Barat. Tetapi, Jokowi bersikeras untuk memindahkan ibu kota.

Beberapa hari lalu, tepatnya 26 Agustus 2019, Jokowi menetapkan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru Indonesia. Pembangunan fisik akan dimulai pertengahan 2020.

Perkiraan awal biaya pembangunan ibu kota baru itu mencapai hampir 500 triliun rupiah. Hanya untuk mencipakan kenikmatan bagi para pejabat tinggi. Kalau jumlah pejabat tinggi ada 2,500 orang (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), berarti biaya pemindahan satu orang mencapai 200 miliar.

Nah, haruskah pemindahan ini dibiarkan?

Akumulasi masalah besar yang sedang melanda negara ini menyimpulkan agar pemindahan ibu kota jangan sampai terjadi. Setidaknya untuk saat ini. Pemindahan itu masih bisa ditunda.

Pak Jokowi hendaknya tidak hanya mengutamakan hasrat legacy (warisan) saja. Hasrat untuk disebut-sebut sebagai presiden yang mewujudkan pemindahan ibu kota.

Jangan khawatir soal ‘legacy’. Anda telah mencatatkan diri sebagai presiden dengan rekor utang terbesar. Anda juga menyaksikan polarisasi sosial-politik terhebat. Di masa Anda ini pula berlangsung pemilu/pilpres paling kacau dalam sejarah dengan korban nyawa 600 petugas KPPS.

Jadi, legacy Anda sudah cukup banyak, Pak Jokowi. Bolehlah ditangguhkan legacy ibu kota baru.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Deep Focus Plus

Oleh Cak AT (Ahmadie Thaha)
pada hari Jumat, 24 Jan 2025
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang terus bergerak, kemampuan untuk benar-benar hadir dan tenggelam dalam satu tugas menjadi barang langka. Begitu pula dalam shalat, kondisi khusyu" merupakan anugerah ...
Opini

Demokrasi Pancasila: Mewujudkan Kepemimpinan yang Berbasis Hikmat dan Musyawarah

Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, menjadi salah satu pilar penting dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia. ...