JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Impelentasi pelaksanaan adanya sertifikasi halal pada setiap makanan dan minuman (Mamin) yang beredar di Indonesia memiliki landasan konstitusi yang kuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD RI 1945 yang mengamanatkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”.
Anggota Fraksi PAN DPRD Sumut, M. Faisal mengatakan, bagi umat Islam, mengkonsumsi Mamin halal adalah suatu perintah atau kewajiban dalam beragama. Artinya, persoalan halal bukan semata soal produk, tapi berkaitan dengan sipiritualitas karena merupakan perintah agama, dimana Al-Quran menyebut secara gamblang tentangperintah mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (halalan thayyiban).
Oleh karena itu, M. Faisal menegaskan, negara memiliki kewajiban untuk mengatur dan memberi perlindungan mengenai kehalalan suatu produk mamin yang akan dikonsumsi oleh warga negaranya.
Dengan landasan tersebut, maka kemudian lahirUndang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH) yang menyebutkan tujuan penyelenggaraan JPH (pasal 3 UUJPH) adalah 1) memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagimasyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk; dan meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 67 UUJPH, maka pada tanggal 17 Oktober 2019 (5 Tahun sejak diundangkanya UUJPH, yaitu tahun 2014), Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat
halal.
Namun demikian, Inisiator Gerakan Santri Berbuat ini menrengkan,berbagai problematika teknis yang belum terselesaikan perlu dicermati agar dalam melaksanakan amanat konstitusi serta niat mulia ini dapat berjalan dengan lancar dan menyeluruh.
Hingga saat ini, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi concern kita bersama, diantaranya:
UUJPH yang diundangkan 2014 namun baru memiliki turunannya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 (PP 31/2019) yang ditandatangani Presiden Jokowi 29 April 2019, dan diundangkan 3 Mei 2019.
Sementara itu, banyak pasal dalam UUJPH maupun PP yang memberi amanat untuk “diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agama (PMA)”.
Tentunya hal ini perlu konsolidasi yang intensif lintas lembaga agar semua amanat tersebut dapat segera diatur, mengingat banyak hal-hal yang belum final serta kebutuhan pengaturan yang cukup detail (diantaranya lahirnya BPJPH, dan proses sertifikasi ditangani beberapa lembaga: BPJPH, LPH, dan MUI plus kementerian terkait.
Bagi anggota DPRD Sumut termuda ini, sesungguhnya penerapan sertifikasi halal bukan hal yang mencemaskan. Hal tersebut sepertinya akan dilakukan bertahap dimana 17 Oktober 2019 – 17 Oktober 2024 dilakukan pembinaan atas kewajiban ini.
Isu terakhir mengenai biaya sertifikasi, sebenarnya Pasal 62 PP 31/2019 menyatakan “Dalam hal pelaku usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya sertifikasi halal dapat difasilitasi oleh pihak lain: pemerintah pusat melalui APBN, pemda melalui APBD, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, atau komunitas” sehingga ini dapat menjadi solusi bagi semua pihak.
Harapan masyarakat mengenai produk halal tentunya sangat besar, hashtag #HalalIndonesia telah menggema di Nusantara, BPJPH harus berlari kencang dan penuh konsentrasi mewujudkan cita-cita mulia, sejatinya BPJPH hanya melanjutkan perjuangan MUI yang notabene telah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu.
“Saatnya penyelenggaraan halal di Indonesia dari semula bersifat sukarela (voluntary) menjadi kewajiban (mandatory); dari semula dilaksanakan oleh ormas keagamaan Islam beralih menjadi tanggung jawab Negara, Tak Ada Kata Mundur, Niat Mulia. #HalalIndonesia Insyaallah Dimudahkan ! Bismillah," ujar M. Faisal. (Alf)