JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak, mengkritisi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 58 tahun 2020 tentang penataan dan penyederhanaan perizinan impor. Menurutnya, peraturan tersebut akan mempermudah keran impor masuk ke Indonesia dan mengakibatkan produk dalam negeri makin terpinggirkan.
Dia melanjutkan, barang impor yang masuk ke indonesia saja sudah sangat besar dan harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan produk lokal. Hal ini tentu sangat merugikan pelaku usaha dalam negeri. Dalam pasal 5 ayat 3 Perpres tersebut, persyaratan teknis untuk izin impor dapat ditangguhkan dalam keadaan tertentu, yakni dalam kebutuhan mendesak dan terbatasnya pasokan dan terganggunya distribusi.
"Persoalannya, penetapan keadaan tertentu tersebut, dapat dilakukan Menteri Koordinator Perekonomian bersama pejabat yang ditunjuk atas nama menteri. Bisa Dirjen, atau siapapun, lewat mekanisme rapat koordinasi (pasal 4 ayat 2)," kata Amin melalui keterangannya yang diterimaTeropongSenayan, Minggu (26/04/2020).
"Artinya, Presiden bisa “cuci tangan” saat impor besar-besaran terjadi (dan ini boleh dilakukan tanpa izin persyaratan teknis) sehingga bisa sangat merugikan pelaku usaha dalam negeri," tambahnya.
Amin menuturkan, untuk melakukan impor dalam perpres tersebuy juga tidak mendetail. Hal ini tentu akan membuka peluang para pelaku oligopoli untuk bermain mata dengan mafia impor guna menentukan harga pasar.
Dia mencontohkan, saat harga melebihi tingkat kewajaran, tidak dijelaskan patokan angka atau presentasenya. Atau disebutkan terganggunya distribusi dan kurangnya pasokan yang membuka peluang pelaku usaha oligopoli yang berfungsi sebagaiprice maker, dapat menahansupplydan mengontrol distribusi lalu bermitra dengan mafia impor.
"Pasal 5 ayat 3 ini jelas-jelas adalah pasal karet," ujarnya.
TEROPONG JUGA:
>Arya Sinulingga Duga Ada Mafia Impor Ventilator
>Legislator PKS: Mafia Alkes Tak Perlu Dibawa ke Ranah Hukum
Kementerian BUMN saat ini sedang gencar-gencarnya memberantas mafia impor. Sebelumnya, Erick Thohir mengatakan bahwa ada praktek kotor dalam impor alat kesehatan (Alkes) yang dilakukan oleh mafia impor. Jumlah impor Alkes bahkan mencapai angka 90 persen dari kebutuhan Nasional.
"Hanya 10% saja bahan baku Alkes dan farmasi yang dipenuhi industri dalam negeri. Nilai impornya juga sangat fantastis, sebesar US$ 1 miliar atau sekitar Rp.15 Triliun (Data BPS, 2019). Alat elektronik untuk medis di peringkat pertama dengan nilai US$ 358,8 juta. Lalu perangkat elektronik medik dan radiologi sebesar US$ 268 juta. Alat X-Ray US$ 87,2 juta. Alat bedah, cetakan plastik dan perangkat hiegenis sebesar US$ 53,5 juta, dan lain sebagainya," ungkap Amin.
Selain itu, kata Amin, aturan pasal 4 dan 5 perpres tersebut juga telah menambrak ketentuan Undang-undang No 7 tahun 2014 tentang perdagangan, di mana perizinan impor seharusnya dilakukan oleh Menteri Perdagangan. Hal ini termaktub dalam pasal 49 ayat 2 dan Pasal 45 ayat 1 UU 7/2014.
Kemudian, pasal 6 perpres tersebut juga berpotensi tumpang tindih aturan kewenangan antara Menteri Perdagangan dan BUMN. Dijelaskan dalam pasal 45 Undang-undang perdagangan bahwa impor barang hanya dapat dilakukan oleh importir yang memiliki pengenal sebagai importir berdasarkan Menteri Perdagangan.
Lebih parah lagi, Perpres ini juga dapat menegasikan UU diatasnya. Dalam pasal 10 Perpres ini disebutkan bahwa semua ketentuan peraturan UU mengenai pemberian persyaratan perizinan impor tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Perpres ini.
"Seakan-akan UU yang bertentangan dengan Perpres menjadi tidak berlaku, atau dengan kata lain, Perpres berkedudukan lebih tinggi dibanding Undang-undang," ujar Amin.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini melanjutkan, disaat produk-produk lokal, khususnya UMKM terus dimarginalkan tanpa dibuka akses pasar dan insentif yang memadai, barang-barang impor malah diberlakukan sebagai "raja".
"Di pasal 8 Perpres ini, disebutkan Barang impor dapat diberikan fasilitas pajak, kepabeanan dan cukai," ujar dia.
Tanpa adanya fasilitas fiskal tersebut saja, lanjut Amin, barang impor seringkali lebih murah dibanding produk lokal. Contohnya BBM. Dirut Pertamina mengungkapkan di masa pandemi korona BBM Impor lebih murah. Hal ini dapat mengakibatkan semua kilang minyak dalam negeri bisa tutup. Saat ini, harga minyak yang jadi patokan dalam negeri adalah MOPS (Mean of Platts Singapore) yang penurunannya tidak setajam Minyak jenis WTI.
Akibatnya, harga keekonomian BBM dalam negeri masih sangat tinggi karena harga minyak mentahnya berpatokan pada MOPS, sedangkan BBM luar negeri berpatokan pada WTI. Adapun harga WTI minus akibat storage terlalu penuh dan permintaan terus menurun akibat wabah korona.
Amin mengimbuhkan, komoditas pertanian Indonesia juga mengalami hal yang sama. Seringkali barang impor sektor pertanian lebih murah dibanding produk petani lokal. Hal ini karena biaya logistik yang mahal, produktifitas lahan yang rendah, dan tata niaga hasil pertanian yang dikuasai pengepul atau pasar oligopoli.
Perpres tersebut menurut Amin akan sangat membahayakan bagi produk-produk lokal bangsa Indonesia, karena barang impor akan semakin membanjiri Indonesia.
"Padahal saat ini berdasarkan data BPS, Neraca Perdagangan Indonesia bulan Maret 2020 surplus sebesar 743 juta US$. Nilai Ekspor Maret 2020 sebesar 14,09 Miliar US$ dan Impor hanya 13,35 Miliar US$. Apakah ada tekanan asing di bulan Februari dan Maret 2020 yang menyebabkan munculnya Perpres 58/2020?" Ujarnya mempertanyakan.