Opini
Oleh Dr Margarito Kamis pada hari Kamis, 21 Mei 2020 - 16:10:51 WIB
Bagikan Berita ini :

KPK Ikut Urus Bantuan Likuiditas?

tscom_news_photo_1590052251.jpg
Margarito Kamis (Sumber foto : Istimewa)

Ikhtiar, merupakan sikap terbaik. Sikap ini harus diletakan diatas timbangan setiap kali sebuah tindakan hendak dilakukan. Memperhitungkan risiko, jauh lebih baik dibandingkan mengabaikan risiko itu. Bukan mendapat untung besar, melainkan agar dikenal orang sebagai pelaksana keputusan hebat.

Memancang ikhtiar itu sedari awal sebelum mengimplementasikanvkebijakan pemberian bantuan likuiditas dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, jelas bagus. Itu karena dua hal. Pertama, kasus BLBI dan Century belum benar-benar beres. Selalu ada kemungkinan dibuka, dilanjutkan penyidikannya oleh KPK.

Kedua, uang yang digunakan dalam rangka implementasi kebijakan adalah uang negara. Jumlahnya tidak main-main. Kabarnya total uang untuk kepentingan ini lebih dari 600 trilyun. Jumlah ini lebih besar dari BLBI dan ratusan kali lipat lebih besar dari Century.

Pengetahuan KPK Dokumen-dokumen hukum otentik, khususnya putusan pengadilan, menyediakan fakta eksplosif. Fakta ini, setiap saat bisa meledak. Bila sekarang terlihat dingin sedingin es, itu lebih disebabkan angin politik sedang bertiup ke arah lain. Bila angin politik mengubah arah tiupannya, bisa barabe.

Apakah perubahan arah angin politik bergantung pada perubahan peta dan formasi pemegang kekuasaan? Tidak selalu begitu. Tetapi saya tidak ingin menganalisis hal itu lebih jauh. Yang mau saya analisis lebih jauh sejauh ruang yang tersedia adalah kemungkinan KPK dilibatkan dalam merancang skema teknis pelaksanaan bantuan likuiditas.

Soalnya adalah mengapa kemungkinan KPK dilibatkan dalam perumusan skema teknis pelaksnaan kebijakan pemberian, khususnya bantuan likuditas, dipertimbangkan? Pertama, KPK pernah menyidik pelaksanaan BLBI. KPK juga telah menyidik kasus Century.

Bukan saja disebabkan kasus ini – BLBI dan Century - belum tuntas, tetapi lebih dari itu. Penyidikan dua kasus itu cukup beralasan diambil dan dijadikan tesis KPK memiliki pengetahuan teknis tentang hal-ihwal teknis, yang bisa diandalkan untuk menghindarkan kesalahan pelaksanaan bantuan teknis likuiditas itu.

Berbekal penyidikan yang mereka lakukan untuk BLBI dan Century, KPK dipastikan tahu kelemahan sangat fundamental cara berpikir pejabat mengambil keputusan. KPK juga pasti tahu kelemahan kreasi pejabat dalam menutup kelemahan ketentuan yang dijadikan dasar pelaksanaan bantuan likuditas itu. Itu poin besar.

Kedua, suka atau tidak, pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020, saya sebut PP Pelaksanaan Program PemulihanvEkonomi, jauh dari memadai. Terdapat begitu banyak soal teknis yang tak terjawab dalam PP ini. Apa saja kelemahan itu? Dalam artikel yang lalu telah saya tunjukan secara sumir kelemahan PP ini.

Apa parameter teknis ekonomi dan keuangan serta hukum tentang Bank-Bank Umum yang dikategorikan sebagai Bank Peserta dan Bank Pelaksana? Tak jelas. Apakah “hanya” Bank Pelaksana yang dapat melakukan restrukturisasi kredit dan melakukan penambahan kredit? Apakah sebelum bank-bank atau korporasi-korporasi yang mau direkstukturisasi kredit atau ditambah modalnya usahanya tidak punya kredit pada Bank Peserta?

Bila ada, apakah Bank Peserta juga bisa melakukan restrukturisasi kredit atau ekspansi kredit? Apa dasatrnya bila Bank Peserta melalukan restrukturisasi dan penambahan kresdit? Apa jaminannya? Siapa yang meneliti jaminannya?

Kegelapan ini memang bisa ditembuas, bisa dikelola, tetapi seperti biasa dalam setiap kegelapan, selalu ada yang tak terdeteksi oleh mata elang. Mata KPK mungkin sehebat mata elang. Tetapi dalam kasus ini, mata KPK tak bakal mampu menembusnya. Mengapa? Tumpukan soal teknis yang harus dibereskan satu demi satu, dalam setiap kasus berbeda, adalah tantangan terbesarnya.

Tak perlu mendahului, apalagi mendahuluinya dengan nada skeptic. Tetapi begitu banyaknya persoalan teknis yang harus diurus satu demi satu itu, justru membatasi KPK sendiri. KPK tak mungkin menyediakan aparaturnya untuk dari hari ke hari bekerja bersama aparat eksekutif
pelaksana kebijakan ini.

Yang paling mungkin adalah KPK menyediakan panduan teknis, sebisa mungkin. Panduan-panduan itu, pasti merupakan implementasi fungsi pengawasan mereka. Tetapi apakah panduan-panduan itu sungguh menjawab kebutuhan tindakan yang diperlukan oleh pejabat pelaksana?

Apakah panduan-panduan yang diberikan oleh KPK, sungguh-sungguh menjawab, sebut saja kebutuhan kriteria teknis. Misalnya “komponen apa dari kredit” yang hendak direkstrukturisasi? Apakah komponen waktu saja? Katakanlah bila komponen waktu dipertimbangkan, soalnya adalah bagaimana kriterianya?

Soal lain, misalnya komponen bunga. Apakah yang dipertimbangkan atau ditentukan kriterianya adalah bunga kredit yang mau dikurangi, atau diperpanjang waktu pembayarannya? Apapun itu, soalnya adalah bagaimana kriteria-kriteria itu ditetapkan.

Siapa yang membuat kriteria itu? OJK atau Bank pelaksana? Apakah kriteria-kriteria yang dibuat itu disupervisi, dianalisis dan sebisa diperbaiki oleh KPK sebelum digunakan oleh OJK atau Bank? Diluar itu, bagaimana penentuan besaran bantuan likuiditas kepada korporasi? Adakah kriterianya? OJK saja yang menentukannya? Apa kriterianya satu korporasi direstrukturisasi, dengan cara memberi perpanjangan waktu pelunasan kredit, atau pengurangan bunga?


Mengapa korporasi tertentu diberi tambahan modal? Bagaimana menentukan besaran tambahan modalnya? OJK yang memutuskan dan membuat kriterianya? Ikutkah KPK dalam urusan seteknis ini? Cukupkah, sekali lagi, KPK hanya membuat panduan? Sedalam dan seadaptif apakah panduan yang disodorkan oleh KPK? Apakah dengan melibatkan KPK, dengan sendirinya menjadi alasan penghapus sifat melawan hukum, andai ada, dalam pelaksanaan kebijakan ini?

Penyidikan Dikemudian Hari Semuanya rumit. Betul-betul rumit. OJK dan Bank Pelaksana harus sangat hati-hati. Bagaimana dengan BI? Terlihat tak ikut menentukan dalam arti memutuskan korporasi mana yang harus direstukturisasi, berapa, bagaimana, kapan dan berapa lama? PP Nomor 23 Tahun 2020 ini memberikan kewenangan itu kepada OJK. Masalahnya apa BI bisa lepas
tangan?

BI memang tidak menempatkan dana bantuan likuiditas pada Bank Peserta. Betul itu. Tetapi bagaimana dengan kewenangan BI yang diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang saat ini telah ditingkatkan statusnya menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 terhadap korporasi tertentu,
hilang begitu saja?

Disini soalnya. Mengapa jadi soal? Ketentuan dalam Perpu itu dapat dijadikan dasar oleh OJK untuk meminta pertimbangan BI ketika OJK hendak memutuskan satu atau dua korporasi diberi privilege sesuai Perpu. Pada titik ini BI, mau tidak mau harus memberikan pertimbangan.

Ketika BI beri pertimbangan, itu menjadi poin tercipta jalinan hukum antara BI dengan OJK. Jalinan ini bernilai hukum sebagai peleburan tanggung jawab –tanggung jawab bersama- antara BI dan OJK. Itu satu soal. Soal lainnya adalah kapan BI menempatkan dana bantuan likuiditas ke Bank Peserta? Siapa yang memutuskan?

BI sendiri yang memutuskan? Kapan dana bantuan likuiditas ditempakan di Bank Peserta? Berapa besaran dana yang ditempatkan pada setiap Bank Peserta? Bagaimana angka-anga itu didapat? Berdasarkan penilaian sendiri dari BI atau rekomendasi dari OJK atau rekomendasi
pemerintah?

BI, tidak usah terkepung, apalagi terintimdasi dengan kasus BLBI, yang belum tuntas-tuntas hingga sekarang. Tidak perlu. Tetapi BI harus benar-benar hati-hati. Aturan mengenai soal ini harus betul-betul jelas. Tidak boleh teredia cela sekecil apapun. Kehat-hatian yang telah diambil sejauh ini, bagus. Sebisa mungkin tidak memuat kebijakan untuk menutupi
kelemahan atau ketidakjelasan Perpu dan PP.

Akankah BI memanggil KPK membantu mereka merumuskan aturan teknis? Bila ini ditempuh BI, tentu bagus. Bila dapat ditempuh, maka pastikan panduan yang dibicarakan bersama KPK, dan akan diformalkan menjadi aturan teknis itu, harus rigid. Semua argumen dalam perdebatan perumusan aturan itu harus direcord, dibuat berita acaranya.

Siapa bicara apa, mengenai apa, dan argumen siapa yang dilembagakan dalam peraturan teknis, sebisa mungkin harus direcord. Mengapa harus direcord? Sekali lagi, tak usah terintimidasi oleh kasus BLBI
dan Century. Tak usah. Bagaimanapun urusan ini terlalu dekat dengan penyidikan, penuntutun dan pemeriksaan pengadilan dikemudian hari.

Hari-hari ini memperlihatkan dengan sangat terang adanya usaha yang dilakukan oleh MAKI dan beberapa organisasi masyarakat menantang pasal ini di MK. MK, hampir dapat dipastikan akan sejalan dengan pemohon.

Mengapa? Tidak tersedia alasan hukum dan politik ekonomi yang cukup untuk mempertahankan pasal ini. Semua pejabat harus memastikan isi kepalanya dengan pikiran bahwa keterlibatan KPK, sekali lagi, tidak bakal menjadi dewa penolong hukum. Tidak ada hukum yang menyatakan nasihat KPK, menjadi hal yang membenarkan atau alasan pembenar atas, jika ada, penyimpangan hukum.

Dzikir Diusia Senja Sayangilah hari esok. Pintar-pintarlah berenang di lautan yang penuh ikan buas, dan gelombang mematikan ini. Pandulah semua pikiran dan
tindakan dengan perbanyak mengingat sesudah pension. Buatlah hari-hari ketika semua kewenangan yang mewah lepas, berpisah untuk selamanya, indah seindah keluarga bercengkerama.

Cintailah dengan cinta yang sebenar-benarnya untuk esok yang indah itu. Buatlah hari esok sesudah pensiun menjadi hari yang menyenangkan keluarga. Bergurau dengan istri yang mulai menua, dengan anak-anak yang luas pergaulannya, dan cucu-cucu lucu-lucu, mesti diimpikan sedari sekarang.

Jadikanlah hari esok hari yang hebat dengan tasbih. Jadikanlah hari itu hebat karena buah tasbih bergerak-gerak selaras nafas mengalun perlahan, manis dengan hati yang memelas kepada Dia Yang Haq. Lalu dalam nafas itu berbisik dzikir, ya khaiyu ya khaiyun hingga lelap mendekap.

Pastikan itu. Jadi? Harus hati-hati betul. Jangan grusa-grusu. Sedikit saja terjadi kekeliruan, itu akan fatal. Pasal 27 Perpu tidak dapat menolong. Andai, sekali lagi andai, terjadi penyimpangan, maka kenyataan menyimpang itu justru menjadi alasan pembenar penegak hukum mengesampingkan pasal 27 itu.

Kala kenyataan penyidikan oleh penegak hukum tiba, kala itu semua menjadi sulit. Pertolongan politik menjadi perkara mahal, tak pasti dan memusingkan. Apa kenyuataan menjelang pilpres kemarin tak cukuop jadi pelajaran. Orang-orang yang punya kekuasaan besar didunia politik jatuh
satu demi satu?

Takutlah dan hati-hatilah. Jadikanlah itu panduan utama dalam balapan mengerikan ini. Hati-hati harus menjadi induk dalam memilih ketentuan hukum, ketika tindakan hendak diambil. Ingat, dan tulislah dengan huruf capital, tanggung jawab hukum adalah tanggung jawab individu, bukan institusi. Insya Allah

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #kpk  #margarito-kamis  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...