JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Ketua Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Zuhairi Misrawi menyatakan ada kesalahpahaman yang sedang terjadi dengan konsep Ketuhanan yang Berkebudayaan dengan menudingnya berniat menghapus sila Ketuhanan Yang Maha Esa di Pancasila. Ironisnya, soal ketuhanan ini justru dijadikan alat untuk memecah belah.
Hal itu disampaikan oleh politikus PDI Perjuangan (PDIP) itu menanggapi masifnya pernyataan sejumlah pihak di media massa maupun media sosial belakangan ini. Disebut Zuhairi, mereka berupaya secara sistematis, massif, dan terstruktur menyebarluaskan informasi yang menyesatkan dan menebarkan fitnah terhadap khazanah pemikiran Bung Karno.
"Mereka ingin mengaburkan pemikiran dan jasa Bung Karno dalam menggali Pancasila. Padahal Bung Karno dalam Pidato Pancasila 1 Juni 1945 menegaskan pentingnya Ketuhanan Yang Maha Esa," kata Zuhairi, Rabu (8/7/2020).
Untuk memahami Ketuhanan yang Berkebudayaan, Zuhairi menjelaskan bahwa Bung Karno menyatakan hal berikut. "Bangsa Indonesia bukan saja bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan dengan Tuhannya sendiri.
Yang Muslim bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih. Yang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada pada mereka, dan begitu seterusnya agama-agama yang lain. Marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia adalah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa".
Kata Zuhairi, dengan pernyataan itu, Bung Karno hendak menegaskan bahwa Indonesia bukan negara sekuler dan tidak akan pernah menjadi negara sekuler. Karena dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, hakikatnya setiap warga bertuhan.
"Karena bertuhan, kita sejatinya mempunyai budi pekerti yang luhur, saling menghormati, saling menghargai, tidak egois, dan tidak pula fanatik. Cara bertuhan yang seperti itu, menurut Bung Karno disebut ketuhanan yang berkebudayaan," tegas Zuhairi, yang akrab disapa Gus Mis.
Dalam konteks itu pula, lanjut budayawan Nahdatul Ulama (NU) itu, umat Islam harus menjadi penggerak kemajuan dengan terus membangun harmoni di antara sesama, menumbuhkan cinta Tanah Air,dan mengejar ketertinggalan dengan cara mengembangkan ilmu pengetahuan.
Apa yang ditunjukkan oleh NU dan Muhammadiyah dalam mendorong harmoni, memperkuat solidaritas kebangsaan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan selaras dengan cita-cita dan mimpi Bung Karno.
Maka dari itu, Zuhairi menyayangkan jika belakangan ini ekspresi keagamaan di ruang publik hanya dijadikan sebagai instrumen politik yang memecahbelah tali kebangsaan kita yang selama itu solid dan kukuh.
"Ada pihak-pihak yang secara sengaja hendak menggunakan agama sebagai alat politik yang memecah belah dengan cara menghembuskan fitnah dan provokasi yang tidak bertanggungjawab. Ini tentunya sangat disayangkan, karena sangat jauh dari esensi Ketuhanan Yang Mah Esa," pungkas pria lulusan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir itu.