JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Legislator dari Sumatera Barat Guspardi Gaus merasa prihatin dengan kabar tentang Pajak Atas Permukaan waduk PLTA Koto Panjang kedepan akan menjadi hak Pemerintah Provinsi Riau.
"Kita akan cek kebenaran berita tentang PAP PLTA Koto Panjang kedepan akan full menjadi hak Pemprov Riau dan telah disetujui oleh Kemendagri. Sementara Pemprov Sumbar tidak dilibatkan dalam proses pembahasan dan perubahan kebijakan Pajak Atas Permukaan (PAP)," Kata Guspardi dalam keterangan tertulis, Jumat, 31 Juli 2020.
"Hal ini tidak fair dan saya akan meminta klarifikasi serta penjelasan dari Kemendagri dalam Rapat Dengar Pendapat yang akan datang," imbuhnya.
Anggota Komisi II DPR ini mengungkapkan, berdirinya PLTA Koto Panjang merupakan hasil perjuangan bersama Pemprov Sumbar dan Pemprov Riau. Kawasan hulu dan sumber air sebagai penggerak turbin PLTA Koto Panjang sebagian besar berasal dan berada di wilayah Administratif Kab 50 Kota Sumatera Barat.
Politikus Partai Amanat Nasional ini juga menyayangkan sikap salah seorang politisi DPRD Riau yang dinilai seolah mengaburkan peranan dan andil besar masyarakat Sumbar demi Penerimaan Pajak Air Permukaan. Semenjak tahun 2001, sudah ada kesepakatan penerimaan PAP agar dibagi rata antara Provinsi Riau dan Sumatera Barat
"Dan tidak ada permasalahan selama ini," kata Guspardi.
Namun, lanjut Guspardi, tiba-tiba ada unsur pimpinan DPRD Riau dengan Jumawa mengklaim bahwa PAP PLTA Koto Panjang merupakan hak mereka sepenuhnya. "Itu jelas melanggar kesepakatan antar dua provinsi bertetangga ini," ujar Guspardi.
Waduk PLTA Koto Panjang
Ia mengisahkan, sejarah panjang perjuangan dan pengorbanan masyarakat Kabupaten 50 Kota adalah fakta yang tidak bisa dinafikan. Menurut dia, banyak dusun dan desa yang hilang dan tenggelam di sana.
Proses pembangunan PLTA ini, ungkap Guspardi, telah menenggelamkan sebanyak 713 buah rumah dengan lebih 2000 jiwa.
Mantan akademisi UIN Imam Bonjol ini mengimbuhkan, masyarakat Nagari Tanjung Pauh dan Tanjung Balik Kabupaten 50 Kota harus kehilangan sawah dan ladangnya atas kejadian tersebut.
Mereka juga dipaksa pindah ke Satuan Pemukiman (SP) II di Rimbo Datar Kecamatan Pangkalan demi terwujudnya pembangunan bendungan ini. Belum lagi dampak lingkungan yang di timbulkan seperti banjir yang senantiasa menerjang daerah sekitar Pangkalan dengan jumlah penduduk 22.000 jiwa ini membuat mereka menjadi stres dan trauma
"Untuk itu saya berharap Pemprov dan DPRD Sumbar perlu mengambil sikap tegas dengan mengkaji serta membahas secara seksama dan selanjutnya duduk bersama Pemprov dan DPRD Riau. Setelah itu juga meminta pihak PLN dan Kemendagri untuk menunda pelaksanaan keputusan tentang PAP PLTA Koto Panjang ini," pungkas Guspardi.