JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Tidak semua siswa di Indonesia mendapatkan kesempatan yang sama agar dapat melanjutkan pembelajaran sekolah dari rumah. Imbas pandemi korona terlalu luas untuk ditangkal. Ekonomi yang terpuruk memberi dampak akibat yang lebih banyak di setiap sektor, tak terkecuali pendidikan.
Belakangan mencuat kabar seorang anak bernama Dimas Ibnu Alias di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah tak bisa "mematuhi" imbauan pemerintah untuk belajar dari rumah via daring atau internet. Bukan karena bandel, Dimas justru terpaksa belajar tatap muka bersama guru di sekolahnya di SMPN 1 Rembang karena ia tak memiliki ponsel pintar (smartphone).
Orang tua Dimas yang bekerja sebagai nelayan tak mampu membelikannya ponsel untuk belajar. Di berbagai wilayah barangkali kendala belajar karena akses jaringan tak memadai. Namun kondisi Dimas lebih memprihatinkan karena selain tak punya kuota internet, ponsel sebagai medianya pun tak ia pegang.
Tanpa menafikan banyaknya kondisi anak-anak sekolah seperti Dimas di berbagai daerah, langkah pemerintah untuk memperjuangkan hak mereka memperoleh pendidikan di musim pandemi patut segera dilakukan.
"Problema riil di masyarakat untuk pendidikan sekarang di masa pandemi Covid-19 adalah bahwa mereka kesulitan belajar daring. Karena mereka tidak punya gawai, atau sinyalnya tidak ada, sampai terakhir nggak punya kuota pulsa internet," kata Wakil Ketua Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR, Abdul Fikri Faqih, kepada TeropongSenayan, Jumat (31/7).
Keterbatasan teknologi dan jaringan adalah masalah utama dalam pendidikan di musim pandemi. Pemerintah semestinya sudah mengambil kebijakan mengatasi hal tersebut agar manakala terjadi musim yang serupa, peserta didik Indonesia tak mengalami kesulitan belajar.
Nadiem Anwar Makarim
Fikri meminta komitmen Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim untuk menindaklanjuti sengkarut masalah belajar di musim korona.
Sejurus dengan hal itu, politikus Partai Keadilan Sejahtera ini masih tak melupakan kasus kucuran dana hibah Kementerian Pendidikan terkait Program Organisasi Penggerak (POP) kepada Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation yang belakangan santer mendapat kritikan publik.
Fikri mengatakan, bantuan untuk siswa yang tak mampu mencukupi kebutuhan belajar daringnya lebih utama ketimbang mengucurkan duit miliaran rupiah untuk lembaga yang tak layak mendapatkan dana POP.
"Inilah yang harus dibantu oleh pemerintah. Bukan bantuan untuk lembaga yang mau training guru penggerak yang rekrutmennya tidak transparan, akhirnya membuat gaduh di masyarakat. Karena ada yang tidak layak dapat, malah dapat banyak," kata Fikri.
Legislator Jawa Tengah IX ini juga mengingatkan UU korona yang memberi ruang bagi pemerintah untuk mengeluarkan anggaran guna menanggulangi dampak pandemi sangat bisa digunakan membantu masalah pendidikan saat ini. Pendidikan merupakan salah satu sektor yang terdampak pandemi korona.
"Monggo mas Mentri Nadiem dengarkan mereka yang protes, ulangi rekrutmen atau hapus program ini dan alihkan untuk bantu masayarakat. Kan Perppu yang sudah jadi UU itu melindungi pemerintah untuk mengubah-ubah anggaran dan program asal untuk kepentingan penanggulangan dampak pandemi Covid-19?" Ujar Fikri.