Berita
Oleh Alfin Pulungan pada hari Rabu, 02 Sep 2020 - 20:47:21 WIB
Bagikan Berita ini :

Pendidikan Diobral, Fikri Faqih Sebut RUU Cipta Kerja Tak Ubahnya RUU Alien

tscom_news_photo_1599054429.jpg
Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Wakil Ketua Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR Abdul Fikri Faqih meminta klaster Pendidikan dicabut seluruhnya dari substansi Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptakerja).

Menurutnya, seluruh beleid tersebut telah menyimpang dari amanat konstitusi sehingga tak layak dijadikan rujukan dalam sistem pendidikan di Indonesia.

“Semua substansi terkait pendidikan, termasuk yang merubah UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, dan UU Pendidikan Kedokteran harus dicabut, karena sudah melenceng dari hakikat pendidikan dalam konstitusi kita,” kata Fikri di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu, 2 September 2020.

Salah satu alasan Fikri meminta peraturan tersebut dicabut karena ia menduga ada unsur pemaksaan Pendidikan menjadi lebih liberal di dalam RUU Cipta Kerja dengan merubah pasal-pasal di dalam UU yang mengurusi Pendidikan.

Ia menegaskan dirinya menolak segala bentuk justifikasi atas liberalisasi Pendidikan, apalagi dikuatkan dengan perundangan seperti di dalam RUU Cipta Kerja.

“Bahkan preambul konstitusi UUD 1945 kita langsung menyebut soal kewajiban pemerintah, salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu dengan menyelenggarakan sistem Pendidikan nasional, bukan menyerahkannya secara komersil,” kata Fikri.

Kewajiban pemerintah dalam mencerdaskan bangsa melalui pendidikan tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945. Ayat 3 pasal tersebut menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.

Sementara ayat 5 berbunyi, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.

Menurut Fikri, draf RUU Cipta Kerja yang dibuat pemerintah telah melanggar kodrat kontitusi dengan mengobral pendidikan menjadi institusi yang wajib mengurus izin berusaha sebagaimana tertuang dalam pasal 68 draf RUU tersebut.

“Ketentuan ini memaksa institusi Pendidikan berbasis masyarakat untuk punya izin usaha, alih-allh pemerintah seharusnya membantu mereka sebagai amanat konsitusi,” tegasnya.

Salah satu yang menjadi perdebatan krusial adalah kewajiban berusaha dalam draf RUU Cipta Kerja, pasal 68 ayat (5) terkait ketentuan pada pasal 62 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang diubah sehingga berbunyi, "Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat."

Selain itu, ketentuan lain mengatur bagi mereka yang melanggar (tidak punya izin berusaha) akan dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 10 tahun dan denda Rp. 1 miliar rupiah.

“Pasal ini menambah esensi pemaksaan secara hukum, bahwa pesantren-pesantren, madrasah diniyah, serta pendidikan non formal berbasis masyarakat lainnya harus punya izin usaha,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.

Isu lain adalah soal perombakan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen di dalam RUU Cipta Kerja yang dinilai diskriminatif terhadap guru dan dosen dalam negeri. Sebaliknya, ketentuan dalam RUU tersebut sangat berpihak kepada pengajar asing.

“Guru dan dosen lokal wajib sertifikasi, sedangkan pengajar asing dikasih karpet merah, ini benar benar RUU alien,” ujarnya.

Fikri juga mengritik sikap Pemerintah dalam pembahasan legislasi yang tidak konsisten terkait Revisi UU Sisdiknas. Padahal, kata Fikri, dari awal pemerintah dan DPR menyepakati revisi UU Sisdiknas dibahas secara terpisah.

Ia pun mengingatkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2020, revisi atas UU 20/2003 tentang sisdiknas merupakan Undang-undang tersendiri dan merupakan usulan pemerintah.

Ia merujuk pada kesimpulan hasil rapat antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan Menteri Hukum dan HAM RI serta pimpinan Panitia Perancangan Undang-Undang (PPUU) DPD RI pada tanggal 16 Januari 2020 lalu.

“Keputusan ini disepakati oleh pemerintah sendiri yang dihadiri Menteri hukum dan Ham dalam rapat dengan Badan Legislasi DPR RI saat penentuan Prolegnas," kata Fikri.

tag: #pendidikan  #komisi-x  #ruu-ciptaker  #abdul-fikri-faqih  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement