JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Anggota Komisi Keuangan (Komisi XI DPR), Anis Byarwati, menilai realisasi program stimulus penanganan ekonomi saat pandemi COVID-19 yang terangkum dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) belum maksimal.
Dia mengatakan anggaran PEN ini hanya terserap 38,6 persen atau setara dengan Rp258,3 triliun dari PAGU yang dianggarkan Rp695,2 triliun.
Adapun rincian realisasinya, ia menjabarkan, antara lain: bidang kesehatan hanya Rp21,92 triliun atau 25,04 persen dari total PAGU Rp87,55 triliun. Bidang perlindungan sosial realisasinya Rp157,03 triliun atau Rp77,1 persen dari total PAGU Rp203,91 triliun.
Kemudian bidang sektoral kementrian dan lembaga dan PEMDA hanya 25 persen atau Rp26,61 triliun dari total PAGU Rp106,05 triliun. Bidang UMKM realisasinya adalah Rp84,85 triliun atau 68,7 persen dari PAGU Rp123,47 triliun. Lalu bidang insentif usaha realisasinya Rp28,7 triliun atau 23,27 persen dari PAGU Rp120,61 triliun. Sedangkan untuk realisasi bidang korporasi, kata Anis, hingga September 2020 belum terealisasi dari anggaran Rp53,57 triliun.
Ia menerangkan, jika diasumsikan pertumbuhan realisasi mencapai 20 persen per bulan hingga akhir tahun, maka realisasi program PEN hanya mencapai 50-60 perseb. Artinya, akan ada dana lebih dari Rp300 triliun yang tidak terserap.
“Realisasi yang rendah ini menyebabkan tujuan utama adanya Program Pemulihan Ekonomi Nasional itu belum dapat dinikmati oleh masyarakat,” kata Anis dalam keterangan tertulis, Jumat 23 Oktober 2020.
Menurut Anis, hal itu tercermin dengan adanya pertumbuhan negatif pada kuartal ke-2 tahun 2020, yaitu mencapai 5,3 persen. “Dengan angka seperti itu, kuartal ke-3 kita perkirakan masih negatif juga,” ujarnya.
Soal apakah Program Pemulihan Ekonomi Nasional sudah cukup optimal membantu pelaku UMKM maupun masyarakat, Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini memandang program itu belum sepenuhnya membantu UMKM
Pasalnya, ia menjelaskan, UMKM yang ada di Indonesia sebanyak 59juta. Sementara dari data dari Otoritas Jasa Keuangan hingga April 2020 tercatat terdapat sebanyak 10 juta UMKM yang dikategorikan berpotensi menerima restrukturisasi. "Jumlah ini hanya sebesar 16,9 persen dari total UMKM,” kata Anis.
Data tersebut menunjukkan, sebagian besar UMKM masih kesulitan mengakses layanan kredit formal dari perbankan maupun dari lembaga keuangan lain. Hal ini menyebabkan program restrukturisasi kredit UMKM tidak akan membantu sebagian besar UMKM di Indonesia.
Oleh sebab itu, Anis mengatakan perlu dipikirkan kebijakan tambahan untuk membantu UMKM. Selain itu, perlu dipastikan 1545 BPR atau BPRS dan koperasi-koperasi juga mendapatkan akses yang adil dalam program restrukturisasi.
“Beban tekanan likuiditasi dan risiko kredit juga lebih besar di BPR atau BPRS, sehingga penting bagi pemerintah untuk memastikan bagaimana mereka dapat menjangkau penempatan dana pemerintah pada bank-bank peserta untuk program restrukturisasi,” pungkasnya.