JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Rencana perpanjangan operasional PT. Freeport Indonesia sudah mendapat angin segar dari pemerintah. Sistem Kontrak Karya antara negara dengan PT. Freeport Indonesia yang dibuat sejak tahun 1967 akan diubah dengan Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sesuai UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) . Dengan demikian, jika perubahan ini berlangsung mulus di 2015, maka Freeport akan terus dapat beroperasi sampai tahun 2035.
Anggota Komisi VII DPR Kurtubi mengatakan, dirinya menyambut positif kemauan PT Freeport untuk tunduk pada peraturan yang berlaku di Indonesia. Namun, di sisi lain dia juga memandang semakin mendesaknya dilakukan revisi UU Minerba.
“Ada sedikit kemajuan dimana pihak Freeport sudah menerima bahwa kontrak karyanya diganti dengan izin usaha pertambangan khusus. Yang artinya pemerintah tidak lagi sebagai para pihak yang berkontrak, tapi pemerintah memberikan izin kepada Freeport dengan IUPK. Artinya pemerintah memiliki kewenangan dan kekuasaan mencabut izinnya suatu saat,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima TeropongSenayan, Kamis (11/6/2015).
Menurut Kurtubi, masih banyak problem dalam UU tersebut. Mulai dari tidak berimbangnya pendapatan yang diperoleh negara dari hasil tambang, hingga belum tegasnya mekanisme pengaturan negara terhadap perusahaan-perusahaan tambang yang mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia.
Selain itu, anggota dewan dari Fraksi Partai NasDem itu juga menekankan masih rendahnya profit sharing yang dapat diterima negara dari sektor pertambangan ketimbang dari minyak dan gas.
Ia memaparkan bahwa total pajak dari industri pertambangan saat ini berada pada kisaran 30 persen. Lima belas persen dari pendapatan perusahaan, 10 persen dari Pajak Pertambahan Nilai dan sisanya dari pajak pemasukan alat berat dan lainnya. Demikian halnya dengan royalty yang dapat diperoleh negara menurut aturan yang ada sekarang hanya berkisar 3.75 persen (untuk mineral emas berdasarkan kontrak karya, red).
“Pajak itu ada tarifnya, mungkin sekarang 30 persen dan tambah royalti yang baru 2,5 persen. Jadi totalnya (pendapatan negara-red) sekitar 32,5 persen. Angka tersebut tidak berimbang dan tentu penerimaan negara tidak optimal dari sektor pertambangan mineral dan batu bara. Kalau di migas, negara memperoleh pajak plus royalti sebesar 85 persen, plus biaya (operasional perusahan) kita kontrol,” tegasnya.
Kurtubi juga menilai mekanisme IUPK dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 dapat mengurangi potensi penerimaan negara. Dalam peraturan tersebut tidak dijelaskan mengenai kontrol pemerintah terhadap seluruh operasional perusahaan pertambangan, padahal sarat dengan manipulasi.
“Akuntan publik yang Freeport pakai apa pernah diuji laporan-laporannya oleh pemerintah? Nah, itu yang kita tidak tahu. Apakah juga ada inefisiensi atau tidak, itu yang kita tidak pernah tahu. Sebab seluruh biaya dari perusahaan tambang itu menjadi faktor pengurangan dari potensi pajak dan royalti yang diterima negara,” gugatnya.
Jika negara, terang dia, ingin mendorong penerimaan dari kekayaan alam yang tinggi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat konstitusi, maka perubahan kontrak Freeport dari kontrak karya menjadi IUPK bukanlah solusi.
“IUPK itu bukan jawaban untuk memperbaiki penerimaan negara. Perbaikan undang-undang ini harus sedekat mungkin dengan UUD pasal 33,” pungkasnya.(yn)