Setiap zaman memiliki tantangan dan permasalahannya masing-masing. Begitu pula dalam perang intelijen. Namun semua permasalahan yang berkembang hari ini bermuara pada krisis moral yang menimpa seluruh kalangan, tidak terkecuali para pejabat dan birokrat pemerintahan.
Yang sangat membahayakan akibat krisis moral adalah tidak adanya moralitas dalam menyelenggarakan negara secara bertanggungjawab, yaitu salah satu kasusnya adalah penjualan data rahasia milik negara kepada kepentingan asing.
Dengan memburuknya moralitas penyelenggara negara, perang intelijen negara semakin kompleks. Semakin sulit membedakan agen asing yang sedang bertugas di negara kita dengan warga negara kita sendiri. Dahulu kita dapat membedakan melalui warna kulit, warna rambutnya yang pirang, dan hidungnya yang mancung. Kini nyaris tak ada perberadaan antara intelijen asing dengan warga negara kita, semua serupa dengan kita.
Tahun 2013 TB Hasanuddin pernah mengatakan, bahwa terdapat sekitar 60.000 intelijen asing bertebaran di Indonesia. Mereka bertugas mengawasi dan mencari data informasi rahasia. Pernyataan tersebut memberikan gambaran siapa yang dimaksud TB Hasanuddin.
Lembaga penelitian patut diduga kaitannya sebagai agen asing karena tugasnya mencari informasi melalui proyek penelitian yang kebanyakan mendapat dana dari asing, dengan pengatasnamaan penelitian program kemanusiaan, demokrasi, dan lain sebagainya. Selain itu intelijen asing juga dikaitkan dengan NGO yang mendapat dana dari asing. Dengan begitu kemungkinan intelijen asing yang dimaksud oleh TB Hasanuddin bisa jadi diantaranya adalah mereka.
Apabila yang dimaksud TB Hasanuddin itu adalah NGO asing dan para peneliti yang menyerahkan data nasional ke asing, kini sudah berganti. Peran NGO dan peneliti program yang bersumber dana dari pihak asing sebagai intelijen asing sepertinya telah digantikan oleh pemerintah.
Dengan pemerintah melakukan kerjasama pembangunan pusat data dengan Singapura, dan terletak di Singapura, maka secara tidak langsung pemerintah dalam hal ini Menteri BUMN telah menjadi spionase asing. Terlebih dalam era digital, Indonesia mau tidak mau ikut dalam arus dunia. Digitalisasi seolah menjadi gengsi tersendiri, hingga Presiden Jokowi selalu menggembar-gemborkan E-goverment. Tidak ada salahnya menerapkan E-goverment apabila pusat data ada di Indonesia dan dikelola oleh negara tanpa campur tangan negara lain, karena dapat membahayakan rahasia negara.
Beberapa hari yang lalu pemerintah telah resmikan Groundbreaking Data Center dan hubungan Telekomunikasi Singtel. Dengan begitu Singapura dapat saja memperoleh data rahasia Indonesia hanya dengan menekan satu tombol. Seharusnya hal tersebut sudah diwaspadai oleh pemerintah, dimulai dari langkah awal yaitu dari penempatan pusat data di dalam negeri, dan pengelolaan secara pribadi.
Entah lalai atau dalam taraf kesengajaan, namun tindakan menteri BUMN jelas akan membahayakan negara dan sekaligus mengkhianati perjuangan Usaman dan Harun yang telah berkorban untuk negara saat melakukan oprasi intelijen di Singapura.(*)
TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #e goverment #menteri rini #jokowi