JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Kaprodi HI FISIP UIN Jakarta Faisal Nurdin Idris, menilai bahwa naskah akademik UU No. 23 Tahun 2019 Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara ini tidak dijelaskan secara detail maksudnya. Argumentasi yang dihadirkan dalam naskah akademik ini terlalu dipaksakan.
"Dengan definisi ancaman seperti yang disebut dalam UU PSDN ini, maka spill-over penggunaan Komcad menjadi sangat luas dan berbahaya. Pemerintah harus mendengarkan masukan dari masyarakat sipil secara luas," katanya mengingatkan.
Hal ini disampaikan Faisal Nurdin pada Telaah Kritis UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan: Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi" Kerjasama Prodi Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta dan IMPARSIAL, Aula Madya, Kampus UIN Ciputat Jakarta (2/6).
Menurut Faisal Nurdin banyak dampak negatif yang dapat timbul dari penerapan UU PSDN ini. UU PSDN ini juga sangat minim penghormatan terhadap hak-hak individu.
"Pemerintah seharusnya bisa menjamin hak-hak privasi warga negara, termasuk menghormati hak untuk menolak dimobilisasi untuk perang atau operasi tertentu atas dasar keyakinan atau kepercayaan mereka (conscientious objention)" jelasnya.
Sementara Fery Kusuma, Pegiat HAM dan Peneliti Centra Initiative menilai, dalam negara hukum demokratis, sebuah UU mensyaratkan perlindungan terhadap hak asasi manusia, sedangkan UU PSDN ini tidak punya atau tidak melindungi hak asasi manusia. Sehingga, banyak ketentuan atau jaminan HAM dalam UUD dilanggar oleh UU PSDN ini.
"Mengingat sejarah masa lalu, kita kenal ada pamswakarsa atau para milisi, sampai sekarang misalnya juga ada di Papua. Artinya pembentukan Komponen Cadangan juga berpotensi kembali membentuk para milisi seperti yang terjadi di masa lalu, untuk berhadapan dengan mahasiswa atau masyarakat kita sendiri," tegas Fery Kusuma.
Junaidi Simun, Peneliti CSRC UIN Jakarta juga menilai bahwa UU PSDN, pengaturan terkait dimensi ancaman terlalu luas. Sehingga UU ini tidak fokus dan cenderung multi tafsir. Anggaran yang dialokasikan untuk pembentukan Komcad juga sangat besar, sekitar 1 triliun pertahun, sebaiknya dana sebesar ini bisa digunakan untuk kepentingan memajukan ekonomi, pendidikan dll.
"Dalam proses pembahasan UU PSDN ini juga sangat minim partisipasi publik, saya tidak mendengar civitas akademika di UIN ini diundang atau terlibat dalam pembahasan UU PSDN ini. Saya juga tidak mendengar pemerintah atau DPR melakukan kunjungan ke daerah-daerah, ke kampus-kampus untuk mensosialisasikan naskah akademik atau RUU PSDN ini," katanya dengan nada prihatin.
Keprihatinan yang sama disampaikan Al Araf, Peneliti Senior Imparsial dan Dosen FH Universitas Brawijaya yang menilai bahwa proses pembentukan UU ini sangat minim partisipasi pubilk, sehingga UU ini cacat formil. Dimensi ancaman dalam UU PSDN ini juga terlalu luas, ketegori ancaman sangat luas, sehingga bisa dipergunakan untuk kepentingan politik tertentu.
"Kita ingat dulu pemerintah menggunakan warga sipil untuk menghadapi kelompok sipil lain seperti yang terjadi di Timor Leste. Komponen Cadangan juga berpotensi disalah gunakan sebagaimana yang terjadi di Timor Leste," katanya mengingatkan.
Pada tahun 1998, misalnya lanjut Al Araf juga ada Pamswakarsa yang dibuat untuk menghadapi para aktivis demokrasi. Komponen cadangan berpotensi menimbulkan konflik horizontal dengan masyarakat karena ancaman yang luas. Urgensi pembentukan Komponen Cadangan juga patut dipertanyakan.
Kalau alasannya untuk memperkuat pertahanan nasional. Maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah memperkuat TNI. Karena raison d’etre pembentukan TNI adalah untuk menghadapi perang. Di sisi lain, 50% alutsista TNI kita juga tidak layak pakai.
"Seharusnya anggaran tersebut dapat difokuskan untuk memperkuat alutsista TNI, melatih dan mendidik prajurit TNI agar lebih professional, dan yang tidak kalah penting mensejahterakan prajurit TNI , bukan malah menghabiskan uang dengan membentuk komponen cadangan," tegas Al Araf menyarankan.