JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani menilai, UU No. 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional ( PSDN) untuk Pertahanan Negara
mengandung banyak masalah secara substansi.
Setidaknya, kata dia, ada 13 pasal yang bermasalah dalam UU ini, terutama nuansa pelanggaran HAM dalam UU ini sangat kental sekali.
"Melalui UU ini memungkinkan penjagaan proyek strategis negara nantinya akan dijaga oleh Komcad. Tugas ini tentu tidak ada relevansinya dengan militer, hal ini membuat militer akan menguasai semua lini sektor sehingga bisa berlaku sewenang-wenang dalam kekuasaan," katanya.
Hal ini disampaikan Julius Ibrani pada acara telaah Kritis UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan: Jelang Putusan Mahkamah Konstitusi" Kerjasama PBHI Lampung dan IMPARSIAL, Kamis (16/6).
Lebih jauh Julius Ibrani menegaskan, UU PSDN ini bertentangan dengan prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Di mana UU ini di bahas dan disahkan dalam waktu yang cepat dan singkat tanpa partisipasi publik yang luas, UU ini juga tidak menghormati prinsip kebebasan berpikir, kebebasan beragama, berkeyakinan karena sifatnya yang memaksa dengan penghukuman," tegasnya.
Sementara Dr. Budiyono Akademisi yang juga Dosen FH UNILA menilai
Pasal-pasal yang ada dalam UU PSDN ini berpotensi disalahgunakan oleh negara karena bersifat multi tafsir. Seperti siapa yang berhak menafsirkan “ancaman” yang dimaksud dalam UU ini.
"Seharusnya Negara saat ini fokus untuk memperkuat sistem alutsista negara dibanding melatih sipil dengan kemampuan militer. Karena penyelesaian menggunakan cara-cara militer atau kekerasan sudah bukan saatnya lagi," katanya menyarankan.
Sedangkan Desy Putri Aldina (Wakil Gubernur FH UNILA memberikan catatan khusus Pasal 4 ayat 2 UU PSDN ini, negara tidak menjelaskan ancaman secara jelas sehingga berpotensi terjadinya multitafsir. Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen saja konflik sudah banyak sekali terjadi, apalagi dibekali dengan keterampilan militer.
"Ketika warga sipil dimiliterisasi maka hal tersebut akan menjadi ancaman di daerah-daerah yang rawan konflik sehingga konflik horizontal akan sering terjadi," kata dia.
Keprihatinan yang sama disampaikan Dr. Al Araf Dosen Fakultas Hukum Univ. Brawijaya yang menilai UU ini bersifat memaksa, di mana warga negara yang tidak ikut mobilisasi dapat dipidana dengan kurungan 4 tahun, sehingga undang-undang ini memaksa dan tidak memberi ruang kebebasan untuk warga negara.
"Sistem pertahanan dan keamanan negara kita saat ini sangat rapuh, bahkan kondisi alutsista Indonesia hanya 50% yang layak pakai berdasarkan buku bertahanan yang diterbitkan oleh Kementrian Pertahanan. Hal ini membuat kondisi pertahanan dan keamanan Indonesia sangat memprihatinkan dan tidak layak," pungkasnya.