JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Kinerja ekspor RI pada tahun 2022 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan tersebut bahkan bisa dilihat dari capaian neraca dagang RI yang mengalami surplus hingga 54,64 miliar dollar AS.
Sekedar catatan, surplus tersebut salah satunya ditopang oleh kenaikan sejumlah harga komoditas di pasar dunia saat itu. Sebut saja misalnya, harga komoditas yang mengalami kenaikan di antaranya yaitu batu bara, minyak sawit, bauksit, bijih besi, nikel.
Namun demikian, dibalik capaian positif itu semua, justru berbanding terbalik dengan jumlah angka kemiskinan yang terus mengalami peningkatan.
Sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa angka kemiskinan disejumlah daerah atau provinsi penghasil komoditas seperti pulau Kalimantan, Maluku, Papua, Sulawesi angka kemiskinan justru naik. Kecuali pulau Sumatera angka kemiskinan turun 9,49 persen pada Maret 2022 dan 9,47 persen pada September 2022.
Menanggapi hal itu, Assc Prof Dr Darmadi Durianto, mengatakan, jika kenaikan tersebut tidak dibarengi dengan pengurangan angka kemiskinan berarti sektor komoditas hanya dinikmati segelintir kelompok saja.
"Jelas ini ada yang keliru. Aneh kalau rakyat masih miskin sementara para taipan komoditas menikmati hasil yang berlimpah. Kondisi ini juga menyiratkan bahwa sektor ekonomi kita dikuasai oligarki," lirih Anggota Komisi VI DPR RI itu kepada wartawan, Rabu (18/01/2023).
Anggota DPR dari FPDIP itu juga menduga, meningkatnya angka kemiskinan dibalik capaian positif komoditas tidak terlepas dari pola bagi hasil keuntungan komoditas yang tak transparan.
"Perlu ditelaah kontribusi para pengusaha komoditas ke daerah penghasil seperti apa. Apakah kontribusinya mandek di para pejabat daerah dan tidak dikucurkan ke rakyatnya atau seperti apa. Ini perlu ditelaah," tandasnya.
Menurutnya, tidak mengalirnya limpahan dibalik kenaikan harga komoditas global ke masyarakat bawah karena selama ini pola pemerataan tidak berjalan efektif.
"Distribusi ekonomi dan rantai pasok yang tak terkonsolidasi dengan maksimal sepertinya jadi pemicu dibalik naiknya angka kemiskinan. Rantai pasok hanya dikuasai segelintir kelompok dan bisa juga ada monopoli, sehingga trickle effect down (tetesan) tak dapat dirasakan masyarakat kalangan bawah sehingga outputnya angka kemiskinan bertambah," papar Pakar Ekonomi dari Wiyatamandala Business School itu.
Dilain sisi, Darmadi juga gak memungkiri bahwa naiknya angka kemiskinan tak terlepas dari kondisi global maupun domestik yang kurang bersahabat.
"Kita dihantam pandemi covid-19 tentu ini berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat ditambah lagi kenaikan inflasi imbas harga BBM sehingga hal semacam ini juga menyebabkan daya beli masyarakat melemah," urai Bendahara Megawati Institute itu.
Namun demikian, Darmadi menegaskan, kondisi itu semua bisa diminimalisir jika saja negara sedari awal berpedoman pada konsep ekonomi yang digagas Bung Karno.
"Mestinya gagasan pembangunan semesta berencana yang digagas Bung Karno jadi guidence atau panduan pemerintah dalam menjalankan perekonomian. Jika itu jadi panduan utama, tidak ada lagi kita dengar angka kemiskinan naik. Justru kesejahteraan akan naik karena model pembangunan dititikberatkan berdasarkan prinsip kegotongroyongan, satu sama lain saling topang bukan saling injak," tegas Politikus PDIP itu.
Darmadi juga menekankan agar pemerintah meninggalkan model pembangunan yang tidak berorientasi ke penurunan pengangguran dan kemiskinan.
"Model pembangunan mercusuar yang hanya menguntungkan segelintir pengusaha harus dijauhi. Pemerintah jangan manjakan oligarki ekonomi saatnya jauhi. Pemerintah jangan mengadopsi model pembangunan ala kapitalis yang hanya membuat rakyat makin sengsara. Spirit kapitalisme kan kejar pertumbuhan tapi abaikan kesejahteraan pelaku ekonomi di dalamnya yakni masyarakat. Ibarat Piramida, masyarakat dalam struktur ekonomi macam ini ada dilapisan paling bawah karena terus jadi korban monopoli oligarki ekonomi," pungkas Legislator dari dapil DKI Jakarta III meliputi Jakarta Utara, Barat dan Kepulauan Seribu itu.