JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Kontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini terkait uji materiil UU KPK dan kemarin (28/05/23) juga telah beredar informasi dari mantan Wamenkumham Dr. Denny Indrayana soal putusan MK terkait sistem pemilu legislatif yang akan kembali ke sistem proporsional tertutup atau coblos partai, telah menjadi polemik yang ramai diberbagai kalangan masyarakat menjelang 260 hari lagi Pemilu Legislative dan Presiden 2024.
Banyak pihak menuding “MK telah melampaui kewenangannya berdasarkan konstitusi alias melanggar konstitusi.”
Menanggapi hal itu, Ketua Umum SOKSI Ir. Ali Wongso Sinaga yang juga mantan Anggota Pansus DPR RI yang turut membidani UU Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Pertama UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan MK diadakan dan diatur keberadaannya dalam UUD 1945 (amandemen) adalah untuk menjaga tegaknya konstitusi berdasarkan konstitusi itu sendiri dan UU Tentang MK yang konsisten dengan Konstitusi.
"Jika Putusan MK menyimpang dan melanggar konstitusi ataupun inkonstitusional, tentu akan berpotensi membahayakan kondisi dan eksistensi negara apalagi jika pendekatan penyelesaian masalah yantimbul dilakukan berbasis politik praktis, bukan kenegarawanan dengan orientasi menegakkan konstitusi sebagai manifestasi politik negara," paparnya kepada wartawan pada hari Senin malam (29/05/23) di Jakarta.
Politisi senior Partai Golkar itu menambahkan, keberadaan MK dalam UUD 1945 diletakkan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, dimana kewenangan MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final antara lain untuk menguji undang-undang (UU) terhadap undang-undang dasar (UUD) sesuai pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan UUD 1945 itu, jelas bahwa kewenangan MK adalah peradilan atau dikenal dengan istilah “negative legislator”, artinya tidak berwewenang membuat UU ataupun suatu norma UU untuk mengganti norma UU yang diuji materiil dalam peradilan MK dan diputuskannya bertentangan dengan UUD 1945.
Adapun yang berwewenang membuat UU atau perubahan norma UU ialah pembuat UU yang dikenal dengan istilah “positive legislator” dan pembuat UU berdasarkan konstitusi adalah DPR bersama Presiden sesuai Pasal 20 dan Pasal 22 UUD 1945.
Kewenangan MK adalah menguji UU terhadap UUD 1945 dan sesuai Pasal 57 UU Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK, apabila dalam peradilan uji materiil MK suatu norma UU terbukti bertentangan dengan UUD 1945, maka MK memutuskan norma tersebut bertentangan denngan UUD 1945 dan MK menyatakan norma UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, dan putusan itu final sifatnya serta harus segera dikirimkan kepada DPR dan Presiden dengan maksud tujuan dapat ditindak lanjuti oleh pembuat UU (positive legislator).
MK tidak berwewenang manambah amar putusan diluar Pasal 57 UU Nomor 7 Tahun 2020 tersebut seperti menambah norma baru UU pengganti norma UU yang diputus bertentangan dengan UUD 1945, sebab membuat norma baru UU atau mengganti norma UU itu adalah kewenangan pembuat UU yaitu DPR bersama Presiden sesuai dengan UU Tentang pembentukan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dengan melibatkan partisipasi rakyat seluas-luasnya sebagai konsekuensi dari UU itu adalah mengikat bagi seluruh rakyat, atau yang dikenal dengan mekanisme “open legal policy”.
Sekarang, jika faktanya suatu putusan MK menambahkan norma baru atau mengganti norma UU yang dinyatakan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945, maka jelas putusan MK itu telah melampaui kewenangan MK karena telah mengambil alih kewenangan pembuat UU yaitu DPR bersama Presiden atau dengan kata lain , MK yang notabene “negative legislator” telah menempatkan dirinya sebagai “positive legislator”.
Putusan MK yang seharusnya menjaga tegaknya konstitusi tetapi justru telah melanggar konstitusi, khususnya pasal 20, 22 dan 24C ayat (1) dan Pasal 24C UUD 1945 yaitu :"Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,...”
Jika demikian faktanya, maka MK telah menyimpang dan melanggar konstitusi atau Inkonstitusional.
Ibarat pagar yang tugas dan fungsinya menjaga tanaman, tetapi faktanya pagar itu sudah memakan tanaman, sehingga tidak layak dan tidak valid lagi jika pagar yang sudah memakan tanaman itu masih disebut atau diakui sebagai pagar. Jangan MK sampai analog dengan peribaratan pagar makan tanaman itu,dimana Putusan MK melanggar konstitusi dan itu adalah Inkonstitusional.
Menjawab apa konsekuensi dari suatu Putusan MK yang sudah terlanjur melanggar Konstitusi, mantan Anggota Badan Legislasi DPR RI tahun 2009-2014 itu mengatakan, jika suatu putusan MK yang terlanjur melanggar konstitusi atau inkonstitusional maka Putusan MK tersebut adalah sesungguhnya tidak berkekuatan konstitusi dan hukum, karena itu putusan MK demikian itu bukan saja tidak final sifatnya tetapi mesti dibatalkan atau dianulir demi tegaknya konstitusi dan hukum.
Persoalannya sekarang, Lembaga negara mana yang dapat membatalkan atau menganulirnya? Menurutnya putusan MK seperti ini analog dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang menghebohkan Indonesia baru-baru ini dimana PN Jakpus itu mengadili yang bukan kewenangannya berdasarkan UU dan mengambil putusan yang menabrak Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Jika Putusan PN Jakpus itu dapat dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi melalui mekanisme banding, maka Putusan MK yang anomali ini siapa yang dapat membatalkan atau menganulirnya?
Menurut politisi senior Partai Golkar itu, jalan paling mudah dan edukatif adalah MK menempuh revisi Putusan MK oleh MK sendiri guna meluruskan putusannya dalam koridor kewenangannya berdasarkan konstitusi. Lalu jalan terakhir adalah oleh pembuat UU (DPR bersama Presiden) melalui mekanisme PERPU sesuai pasal 22 UUD 1945, analog dengan mekanisme Perpu Ciptaker.
Menjawab pertanyaan bagaimana jika Pemerintah mendukung Putusan MK yang melanggar konstitusi, Wakil Ketua Dewan Pakar Partai GOLKAR itu bertanya balik kepada wartawan. Apa mungkin Pemerintah bisa naif sehingga Pemerintah menari diatas gendang produk hukum yang inkonstitusional? Apa Pemerintah tak bisa membedakan mana yang tidak seharusnya dan mana yang sebaiknya ditempuh dalam menjaga tegaknya konstitusi negara dan stabilitas nasional serta kewibawaan kepemimpinan nasional Presiden yang berpegang teguh pada konstitusi?
"Sebagai bagian dari pendukung Presiden Jokowi dalam Pilpres 2014 dibawah arahan Prof.Dr.Suhardiman Pendiri SOKSI dan pada Pilpres 2019 bersama Partai Golkar dibawah kepemimpinan Pak Airlangga Hartarto, kami SOKSI menaruh kepercayaan penuh dan harapan kepada Bapak Presiden Jokowi akan senatiasa memegang teguh konstitusi dan menjalankan UU dengan selurus-lurusnya, serta tidak akan terpengaruh dengan pihak-pihak manapun termasuk jika putusan MK inkonstitusional," harap tokoh kader senior binaan Pak Suhardiman Pendiri SOKSI itu.
Terhadap rencana MK yang akan segera mengambil putusan tentang uji materiil sistem proporsional terbuka dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, kami ingatkan MK hendaknya ekstra waspada dan cermat agar supaya Putusan MK jangan sampai melanggar konstitusi disertai pandangan dan saran serta harapan kami dengan lima hal, yaitu:
Pertama, para hakim konstitusi yang mulia diharapkan hendaknya perform dengan suatu refleksi yang dapat memastikan telah memenuhi persyaratan hakim konstitusi sesuai pasal 24C ayat (5) : "Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,...”.
Dalam kaitan ini, diharapkan jangan ada lagi seperti pada sidang MK tanggal 9 Mei 2023 dimana hakim konstitusi tampak naif dan keliru memahami putusan MK Tahun 2008 Nomor : 22-24/PUU-VI/2008 atas uji materiil UU No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPRD, dan menilai seolah-olah MK berwewenang memutus sistem pemilu tanpa melalui open legal policy sebagaimana pemahamannya yang keliru terhadap Putusan MK Tahun 2008.
Kedua, Dalam memutuskan uji materiil suatu sistem pemilu bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945, diharapkan para hakim konstitusi yang mulia bisa memilah dan membedakan antara pembangunan demokratisasi melalui sistem proporsional terbuka disatu sisi dengan ekses-ekses akibat dari belum dilaksanakannya konsekuensi demokratisasi itu sendiri disisi lain yaitu Pendidikan politik kepada rakyat banyak dan Pendidikan politik kader kepada potensi kader Parpol calon anggota DPR, DPRD serta Pengawasan berikut Penegakan Hukum Pemilu.
Ketiga, diharapkan para hakim konstitusi yang mulia selalu melihat UUD 1945 dan suatu bab, pasal , ayat-ayat dengan rasional dan utuh. Pasal 22E hendaknya dilihat dalam rangka kedaulatan rakyat atau demokratisasi menurut UUD yang diamanatkan Pasal 1 dan Pasal 22E dari ayat (1) sampai (6) dilihat secara utuh bukan dengan ‘mencomot’ ayat (3) dan ayat (4) saja, dan dalam kaitannya dengan Parpol sebagai Peserta Pemilu hendaknya mendalami UU Nomor 2Tahun 2011 Tentang Parpol khususnya pada Pasal 29 UU Parpol mengenai tugas Parpol merekrut warga negara dan mengajukan calon anggota DPR,DPRD.
Keempat, format putusan MK berdasarkan Pasal 57 UU Nomor 7 Tahun 2020 Tentang MK adalah menolak atau menerima permohonan tanpa menambah atau mengganti norma UU, agar Putusan MK tidak melanggar konstitusi. Jika seandainya MK memutuskan iystem proporsional terbuka adalah bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka konsekuensinya terdapat kekosongan hukum untuk melaksanakan Pemilu legislative 2024 dengan segala resikonya.
Dalam kaitan itu kami menghimbau kepada para hakim konstitusi yang mulia, tanpa mengurangi hak pemohon uji materiil dan pendukungnya, dengan pertimbangan tahapan pemilu 2024 yzng sudah berjalan relative jauh dan bebagai masukan ahli serta dukungan delapan parpol parlemen berikut Pemerintah, maka adalah arif bijaksana dan negarawan serta adil MK memutuskan Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, dan biarlah DPR Periode 2024 -2029 didorong untuk mengubah sistem pemilu dalam UU Pemilu yang lebih baik bagi kemajuan bangsa kedepan.
Kelima, Semoga Sembilan hakim konstitusi yang mulia menjaga kredibilitas MK sebagai penjaga yang tangguh menjamin tegaknya konstitusi berdasarkan konstitusi dan UU MK dengan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga Putusan MK tidak membawa mudharat tetapi manfaat bagi rakyat, bangsa dan negara.