Opini
Oleh Jacob Ereste pada hari Minggu, 21 Jul 2024 - 14:40:54 WIB
Bagikan Berita ini :

Program Makan Siang Gratis Yang Bergizi Membuat Warga Masyarakat Jadi Tidak Mandiri

tscom_news_photo_1721547654.jpg
Ilustrasi masyarakat (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Program makan siang gratis yang bergizi sekalipun, tidak lebih bijak bila dana sebesar Rp 71 triliun itu digunakan untuk membuka berbagai usaha yang bisa menguntungkan pemerintah tidak hanya dalam finansial, tetapi juga membuka lapangan kerja yang bisa memberi kesempatan pada angkatan kerja maupun mereka yang menganggur tidak memiliki pekerjaan.

Apalagi sejak awal tahun 2024 gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terus berlangsung sampai hari ini akibat kesulitan ekonomi dan macetnya barang produksi yang tidak mampu diserap oleh konsumen.

Kecuali itu, pelaksanaan program makan siang gratis--yang bergizi sekalipun -- tidak lebih mendidik warga masyarakat untuk lebih percaya diri, karena tidak diperlakukan semacam belas kasihan, tanpa jelas pekerjaannya namun tetap mendapat makan siang cuma-cuma.

Padahal untuk merealisasikan program makan siang gratis itu tidak gampang, mulai dari pengolahan dan mempersiapkan makanan jadi untuk kemudian mendistribusikannya kepada mereka yang dianggap berhak. Sedangkan jumlah orang miskin di semua kota besar di Indonesia melebih 10 ribuan orang.

Lalu mampukan program makan siang gratis itu dilakukan di semua kota besar yang ada di Indonesia, misalnya karena masyarakat miskin di perkotaan cukup dominan dan rentan menimbulkan masalah akibat kelaparan yang tidak mampu ditahan. Setidaknya, begitulah tindak kejahatan bersumber dari kerentanan ekonomi yang terus mendesak berbagai kebutuhan yang tidak bisa ditunda. Mulai dari pembayaran rumah kontrak hingga ongkos transportasi yang lumayan besar, nyaris sebanding dengan kebutuhan konsumsi sehati-hari.

Selain itu, program makan siang gratis yang dijamin bergizi itu, pun sangat rentan menimbulkan kerusuhan akibat distribusi yang tidak cukup atau dalam pelaksanaannya yang tidak merata. Toh, tidak mungkin semua kota besar bisa mendapatkan makan siang gratis itu seperti yang diberikan kepada warga kota yang lain, yang mungkin mendapat prioritas pelayanan, karena mungkin saja daerah tersebut dianggap paling rawan dari ancaman kelaparan.

Di Jakarta saja misalnya dengan penduduk sekitar 11 juta orang, bila saja 5 persen diantaranya adalah mereka yang patut mendapat bantuan makan siang gratis yang bergizi itu, maka jumlahnya sudah paling sedikit berjumlah 55 ribu orang. Kalau masih harus diseleksi lagi, bisalah dianggap 50 persen diantaranya yang layak mendapat jatah makan siang gratis bergizi itu, maka jumlahnya pun masih berkisar 25 ribu orang.

Jadi, apa kata warga masyarakat dari kota lain, kalau yang mendapat sajian makan siang gratis bergizi itu hanya warga DKI Jakarta saja?

Artinya, sejumlah warga di kota besar lainnya pun harus mendapat perlakuan dan pelayanan yang sama, agar tidak sampai menimbulkan kecemburuan sosial. Artinya, bila semua kota besar di Indonesia akan mendapatkan jatah makan siang gratis bergizi itu, lantas seberapa banyak dana yang masih harus dipersiapkan oleh pemerintah untuk tambahan dana yang sudah tersedia sebesar Rp 71 triliun tersebut.

Sekiranya uang sebanyak itu dapat digunakan untuk membuka usaha produktif seperti pengalengan ikan, pengawetan cabe yang acap gonjang ganjing harganya di pasar, hingga buah jeruk dan tomat yang acap membuat kemarahan petani akibat harganya yang sangat menyedihkan itu, pasti akan memberi nilai tambah, setidaknya membuka lapangan kerja baru bagi angkatan kerja dan para penganggur yang tidak kebagian pekerjaan.

Setidaknya, dengan memiliki pekerjaan tetap bagi warga masyarakat bisa menjaga harga diri dan percaya ada cahaya terang untuk masa depan mereka bersama keluarga.

Agaknya, hanya dengan begitu harapan dan cita-cita masa depan yang lebih baik -- untuk membiayai pendidikan anak-anak, menata kehidupan keluarga dengan perencanaan dan kalkulasi yang lebih pasti dapat diwujudkan, meski tetap dalam katagori masyarakat miskin juga dibanding warga masyarakat kebanyakan lainnya.

Karena yang lebih penting adalah tujuan dari pemerintah agar tidak membuat ketergantungan warga masyarakat yang sesungguhnya dapat memaksimalkan potensi dirinya untuk mandiri, memiliki inisiatif, kreatif dan inovatif sehingga dapat menjadi bagian dari ketahanan bangsa dan negara dalam segenap segi kehidupan.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 79 - SOKSI
advertisement
HUT RI 79 - ADIES KADIR
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

AstabratA Institute: Warisan Utang Pemerintah Jokowi

Oleh Agusto Sulistio - Mantan Kepala Aksi dan Advokasi PIJAR era90an
pada hari Sabtu, 07 Sep 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pemerintahan Presiden Joko Widodo akan meninggalkan beban utang yang sangat besar bagi pemerintahan baru. Menjelang transisi kekuasaan, angka utang Indonesia kian ...
Opini

KIM Plus: Lonceng Kematian Demokrasi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Menyusul Putusan MK No.12/2024 yang memenangkan Prabowo-Gibran, Koalisi Indonesia Maju yang mengusung pasangan itu langsung berkonsolidasi untuk meraih sasaran berikutnya: ...