Oleh Agusto Sulistio - Mantan Kepala Aksi dan Advokasi PIJAR era90an pada hari Jumat, 23 Agu 2024 - 13:01:55 WIB
Bagikan Berita ini :

Menakar RUU Pilkada DPR dan Keputusan MK

tscom_news_photo_1724392915.jpg
Agusto Sulistio - Mantan Kepala Aksi dan Advokasi PIJAR era90an (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Penolakan Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024 memicu gelombang protes besar. Putusan MK ini memungkinkan partai politik tanpa kursi di DPRD untuk mencalonkan kepala daerah dan menetapkan batas usia calon kepala daerah minimal 30 tahun.

Penolakan DPR terhadap putusan ini memicu protes masif dari mahasiswa, aktivis, dan masyarakat di depan gedung DPR-RI pada 22 Agustus 2024, menentang upaya Baleg yang dinilai bertujuan menggagalkan keputusan MK tersebut.

Di tengah panasnya situasi, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengumumkan pembatalan pengesahan RUU Pilkada karena rapat tidak mencapai kuorum. Namun, langkah ini justru menimbulkan pertanyaan di kalangan publik dan pengamat. Apakah pembatalan tersebut sesuai dengan prosedur internal DPR? Dan apakah ini merupakan langkah nyata menghormati keputusan MK, atau hanya upaya menenangkan situasi tanpa niat sebenarnya untuk mengikuti konstitusi?

Tindakan Dasco boleh untuk diberikan apresiasi karena menghindari eskalasi lebih lanjut. Namun, penting bagi publik untuk waspada dan memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar mengikuti prosedur yang sah dan tidak menjadi celah bagi pemerintah atau pihak lain untuk mengabaikan putusan MK yang telah sesuai dengan aspirasi rakyat.

Menelisik RUU Pilkada

Pernyataan Dasco Ahmad tentang pembatalan pengesahan RUU Pilkada menimbulkan tanda tanya besar terkait komitmen DPR dalam menghormati keputusan MK. Pembatalan pengesahan RUU karena tidak tercapainya kuorum memang bisa menjadi alasan teknis yang sah, namun hal ini bisa saja dimanipulasi sebagai taktik untuk menghindari pengesahan undang-undang yang dianggap kontroversial oleh sebagian besar anggota DPR.

Pernyataan ini mengindikasikan kemungkinan adanya manuver politik di balik layar yang mengorbankan proses legislasi yang seharusnya transparan dan menghormati prinsip-prinsip hukum.

Contoh serupa terjadi pada tahun 2014 ketika DPR mengesahkan RUU Pilkada yang mengubah sistem pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi tidak langsung, melalui DPRD. Pengesahan yang dilakukan pada 26 September 2014 itu dipandang sebagai langkah mundur bagi demokrasi dan memicu protes besar dari masyarakat. Reaksi publik yang keras akhirnya membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 untuk membatalkan UU Pilkada tersebut dan mengembalikan sistem pemilihan langsung. Dalam hal ini, ada penggunaan kekuatan eksekutif untuk membatalkan keputusan legislatif yang dianggap tidak mencerminkan aspirasi rakyat.

Peristiwa serupa lainnya terjadi pada 2017 ketika pemerintah berencana untuk merevisi UU Ormas. Revisi yang dilakukan secara tergesa-gesa tanpa konsultasi publik yang memadai memicu kontroversi dan protes dari berbagai kalangan.

Pemerintah akhirnya mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan untuk mengatur lebih ketat keberadaan ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila, yang kemudian disahkan oleh DPR menjadi undang-undang. Kasus ini menunjukkan bagaimana perubahan kebijakan atau undang-undang dapat dipengaruhi oleh tekanan publik dan pertimbangan politik.

Dari beberapa contoh di atas, dapat dilihat bahwa keputusan yang diambil di lembaga legislatif sering kali dipengaruhi oleh situasi politik dan opini publik. Pembatalan pengesahan RUU Pilkada oleh Dasco dan Baleg DPR perlu diawasi dengan ketat untuk memastikan bahwa tindakan tersebut benar-benar dilakukan demi kepentingan konstitusional dan bukan sekadar langkah politik yang dapat merugikan proses demokrasi.

Transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses legislasi adalah kunci untuk memastikan keputusan yang diambil tidak menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi dan hukum.

Penutup

Tanpa menghilangkan rasa hormat kita kepada para wakil rakyat yang tengah berjuang untuk kepentingan rakyat, masyarakat tetap perlu mengawasi jalannya proses RUU Pilkada di DPR-RI demi tegasnya demokrasi dan kepentingan yang memihak rakyat banyak.

Pengawasan publik menjadi penting untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil oleh DPR dan pemerintah tidak bertentangan dengan aspirasi masyarakat dan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang dijamin oleh konstitusi. Keputusan politik harus selalu diawasi agar tidak menyimpang dari kepentingan rakyat dan menjaga legitimasi serta kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #dpr  #pilkada  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 79 - SOKSI
advertisement
HUT RI 79 - ADIES KADIR
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Penguasa Si 'Hidung Panjang' Harus Dilawan

Oleh Isti Nugroho
pada hari Jumat, 13 Sep 2024
SEMBILAN tahun bangsa kita terpukau dan tersihir oleh populisme seorang penguasa. Penguasa itu mendapat  beberapa sebutan yang bernada ejekan. Misalnya, “raja jawa”, ...
Opini

Jakarta 'Killing Field' Ridwan Kamil

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Setelah dicemplungkan Partai Golkar ke Jakarta dan dititipkan kepada KIM agar mendukungnya, ternyata Ridwan berada di ruang "kariweuhan". Ia ditolak disana-sini ...