Opini
Oleh Ariady Ahmad pada hari Minggu, 15 Des 2024 - 15:21:28 WIB
Bagikan Berita ini :

Politik Uang dalam Bentuk Bantuan Sosial

tscom_news_photo_1734250888.jpeg
Ariady Achmad (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Politik uang umumnya dipahami sebagai pemberian uang atau barang secara langsung kepada pemilih dengan tujuan memengaruhi pilihan mereka dalam pemilu. Namun, bantuan sosial yang bersumber dari keuangan negara juga dapat dikategorikan sebagai politik uang jika digunakan secara tidak sah untuk kepentingan politik, misalnya:

1. Pembagian Sembako Menjelang Pemilu: Bantuan yang diberikan secara tiba-tiba menjelang hari pemungutan suara dapat dicurigai sebagai upaya membeli suara rakyat, terutama jika sebelumnya tidak ada program bantuan yang terjadwal.


2. Pesan Politik Terselubung: Jika bantuan disertai dengan pesan kampanye, ajakan memilih kandidat tertentu, atau logo partai politik tertentu, maka hal ini menjadi indikasi kuat adanya politik uang.


3. Penyalahgunaan Dana Publik: Bantuan yang bersumber dari keuangan negara namun disalurkan untuk keuntungan politik pribadi adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hukum yang serius.

Dilema Masyarakat yang Rentan

Dalam realitas sosial, banyak masyarakat yang menerima bantuan ini bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena keterbatasan ekonomi yang memaksa mereka menerima apa yang diberikan. Kemiskinan struktural membuat rakyat berada dalam posisi sulit: mereka membutuhkan bantuan untuk bertahan hidup, sementara di sisi lain, mereka sadar bahwa menerima bantuan tersebut bisa menjadi jebakan politik yang merampas kebebasan mereka dalam menentukan pilihan.

Namun, apakah tindakan menerima bantuan ini salah? Dari sudut pandang kemanusiaan, tidak adil menyalahkan rakyat kecil yang menerima bantuan karena kebutuhan hidup yang mendesak. Namun, dari sisi hukum, praktik ini tetap melanggar prinsip demokrasi jika disertai dengan niat memengaruhi pilihan politik mereka.

Pandangan Hukum dan Sanksi

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, praktik politik uang dilarang keras. Pasal 523 ayat (1) menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain kepada pemilih untuk memengaruhi pilihannya dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta.”

Selain itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki kewenangan untuk mengawasi, menyelidiki, dan menindak pelanggaran pemilu. Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum sering kali terkendala oleh sulitnya mendapatkan bukti langsung dan keberanian masyarakat untuk melaporkan pelanggaran.

Membangun Kesadaran dan Edukasi Politik

Untuk menghentikan praktik politik uang yang merusak demokrasi, pendidikan politik yang masif dan berkelanjutan harus menjadi prioritas. Rakyat perlu diedukasi tentang hak pilih mereka yang bebas dari intervensi dan diberi pemahaman bahwa:

Bantuan yang diberikan pemerintah tidak boleh dipolitisasi untuk kepentingan pemilu.

Memilih berdasarkan hati nurani adalah hak rakyat yang tidak bisa dibeli dengan uang atau sembako.

Melaporkan pelanggaran adalah bagian dari tanggung jawab warga negara untuk menjaga keadilan pemilu.

Kesimpulan: Memperkuat Integritas Demokrasi

Politik uang dalam bentuk bantuan sosial adalah penyakit kronis dalam sistem pemilu di banyak negara, termasuk Indonesia. Memanfaatkan kemiskinan sebagai alat politik adalah bentuk ketidakadilan yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melukai nurani kemanusiaan.

Untuk itu, perlu adanya komitmen bersama dari pemerintah, penyelenggara pemilu, masyarakat sipil, dan media untuk memerangi politik uang dengan meningkatkan transparansi, memperkuat penegakan hukum, dan menciptakan kondisi ekonomi yang lebih baik agar rakyat tidak lagi tergantung pada bantuan sesaat yang diberikan dengan niat tersembunyi.

Memilih adalah hak setiap warga negara. Hak ini harus dijaga dari intervensi yang mencederai demokrasi, agar pemilu benar-benar menjadi wujud kedaulatan rakyat yang jujur, adil, dan bermartabat.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #ariadyachmad  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Transisi Kekuasaan dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto, Sebuah Tinjauan

Oleh Ariady Ahmad
pada hari Sabtu, 14 Des 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pertemuan antara Joko Widodo dan pimpinan Lippo di Solo dapat dilihat sebagai bagian dari upaya mempertahankan kepentingan bisnis yang sudah mapan di era ...
Opini

Analisis Pertemuan Jokowi dengan Bos Lippo di Solo

Analisis pertemuan antara Joko Widodo dan pimpinan Lippo di Solo dapat dilihat dari beberapa sudut pandang strategis dan politis: 1. Dimensi Ekonomi dan Bisnis Tanggung Jawab ...