Kabar meninggalnya seorang bocah berusia tiga tahun di Sukabumi karena tubuhnya dipenuhi cacing bukan sekadar kisah tragis, tetapi potret nyata kegagalan sistemik negara dalam melindungi rakyatnya yang paling miskin dan rentan. Seorang anak—yang mestinya dilindungi oleh program kesehatan dasar dan jaminan sosial—justru gugur karena penyakit yang seharusnya bisa dicegah dan diobati sejak dini.
Di balik tragedi ini, kita menyaksikan betapa administrasi kependudukan yang lamban, layanan BPJS yang kaku, serta layanan kesehatan primer yang tumpul telah menciptakan “lingkaran setan kemiskinan” yang berujung pada kematian. Bocah ini tidak memiliki identitas, tidak terdaftar dalam BPJS, tidak terjangkau posyandu atau puskesmas, hingga akhirnya masuk rumah sakit dalam kondisi kritis. Ironisnya, baru setelah kasusnya viral, pemerintah setempat bergegas mengurus KTP, BPJS, dan bahkan renovasi rumah keluarganya.
Pertanyaannya sederhana: apakah negara baru hadir setelah tragedi dan setelah publik marah?
Kita tahu, penyakit cacingan dan tuberkulosis bukanlah persoalan baru. Ia terkait erat dengan kemiskinan multidimensional: sanitasi buruk, akses air bersih minim, lingkungan kumuh, hingga lemahnya gizi anak. Namun, bukankah pemerintah sudah memiliki program dana desa, posyandu, hingga pemberantasan TBC nasional? Mengapa semua program itu gagal menyentuh anak ini—dan kemungkinan besar masih banyak anak lain di pelosok negeri?
Di sinilah letak persoalan mendasar. BPJS Kesehatan yang digadang sebagai pelindung justru diskriminatif terhadap mereka yang tidak punya identitas. Padahal, kelompok inilah yang paling membutuhkan perlindungan. Sistem birokrasi yang mensyaratkan administrasi formal telah membuat rakyat miskin “tidak tercatat, lalu tidak dianggap”. Akibatnya, mereka hanya muncul dalam statistik kematian.
Sektor kesehatan pun tidak luput dari kritik. Posyandu yang mestinya jadi garda terdepan kesehatan ibu dan anak gagal melakukan deteksi dini. Puskesmas tidak hadir secara proaktif. Padahal, pemberian obat cacing massal, edukasi kebersihan, dan pemantauan gizi anak adalah tugas rutin yang semestinya menyelamatkan banyak nyawa.
Lebih jauh, ini adalah cermin buruk koordinasi lintas sektor. Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan Dinas Kependudukan seolah berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah desa hanya bereaksi setelah kamera media hadir. Jika pola ini terus dibiarkan, tragedi Sukabumi hanya akan menjadi satu dari sekian banyak “kematian yang seharusnya bisa dicegah.”
Maka, pemerintah perlu berhenti menjadikan kemiskinan sebagai retorika politik belaka. Program bantuan dan kesehatan harus benar-benar menyasar mereka yang paling rentan, bukan hanya mereka yang “terdaftar” di sistem. Negara harus proaktif menjemput bola: mendata warga miskin, memberikan layanan kesehatan preventif, memastikan sanitasi, dan menghapus hambatan administrasi BPJS.
Tragedi ini adalah tamparan keras bagi kita semua. Jika negara gagal menyelamatkan satu nyawa anak kecil dari cacingan—penyakit kuno yang bisa dicegah—maka kita harus bertanya keras: untuk siapa sebenarnya negara ini bekerja?
#SelamatkanAnakIndonesia
#StopAnakMiskinMatiSiaSia
#NegaraKemana
#KesehatanUntukSemua
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #