Oleh Seknas Fitra pada hari Kamis, 21 Agu 2025 - 08:08:58 WIB
Bagikan Berita ini :

Lima Alasan Tunjangan Rumah Dinas DPR Layak Dibatalkan

tscom_news_photo_1755738538.jpg
Gedung Wakil Rakyat (MPR, DPR, DPD RI) (Sumber foto : Istimewa)

Pada 19 Agustus 2025, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menilai tunjangan perumahan legislator lebih efisien jika dibandingkan dengan pemberian Rumah Jabatan Anggota (RJA). Menurutnya, memperbaiki RJA membutuhkan banyak biaya. Akan tetapi FITRA menilai kebijakan tersebut justru kontra produktif dengan tujuan awal arah pemerintahan. Berikut lima argumentasi FITRA menolak pernyataan tersebut:

1. *Potensi pemborosan niretika di tengah efisiensi yang digaungkan pemerintah.* Tunjangan rumah dinas DPR ini dapat dianggap sebagai pemborosan anggaran negara yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kepentingan masyarakat yang lebih membutuhkan, seperti percepatan program 3 juta rumah layak huni bagi masyarakat miskin. Apalagi di saat rakyat harus antre minyak goreng; dibohongi oleh trik bensin; hingga berjuang membayar kontrakan, wakil rakyat justru meminta kontrakan mewah dengan uang negara. Kondisi ini semakin menegaskan jargon efisiensi tidak sejalan dengan praktik boros DPR.

2. *Skema yang digunakan tidak transparan dan tidak akuntabel.* Tunjangan rumah dinas DPR dengan skema _lumpsum_ jelas tidak transparan dan potensi penyalahgunaannya tinggi. Belum tentu tunjangan yang diterima untuk kebutuhan rumah (sewa/kontrak) karena tidak ada laporan aktualnya. Padahal ada mekanisme lain (_reimbursement_ atau laporan penggunaan keuangan) yang memungkinkan publik lebih mengetahui dan menjamin akuntabilitas.

3. *Kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara wakil rakyat dengan rakyat.* Tunjangan rumah dinas DPR yang besar dapat memperlebar kesenjangan antara anggota DPR dan rakyat yang mereka wakili. Banyak warga yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Gini ratio di Indonesia dalam 5 tahun terakhir cenderung tidak signifikan, masih di sekitar angka 0,38 (BPS). Artinya, secara statistik makro dampak pemberian tunjangan rumah dinas DPR dan rasio gini memang nyaris tak terlihat. Namun secara persepsi keadilan dan legitimasi politik, kebijakan ini tetap bisa memperlebar jarak sosial antara elite dan rakyat.

4. *Prioritas yang tidak tepat.* Dengan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat yang masih membutuhkan banyak perbaikan, prioritas anggaran sebaiknya diberikan pada program-program yang langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Apalagi kinerja dewan saat ini masih tergolong rendah, terutama pada aspek legislasi dan pengawasan anggaran. Hampir tidak ada dokumen yang dihasilkan dari monitoring anggaran yang dilakukan oleh DPR. Sebagai contoh, capaian pengesahan RUU dalam Prolegnas prioritas tiga tahun terakhir masih rendah, tidak lebih dari 14% yang selesai (_hukumonline.com_). Belum lagi peran pengawasan DPR yang masih formalitas.

5. *Potensi penyalahgunaan.* Besarnya tunjangan ini dapat membuka potensi penyalahgunaan wewenang dan korupsi, terutama jika tidak ada pengawasan yang ketat terhadap penggunaannya.

Dengan ini, Seknas FITRA merekomendasikan:
1. Efisiensi yang dilakukan seharusnya sebesar-besarnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memfasilitasi pejabat (DPR). Tunjangan rumah dinas DPR seharusnya digunakan untuk mendukung program-program yang lebih bermanfaat bagi masyarakat miskin dan rentan, seperti perempuan, anak, lansia, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat. Misalnya akses terhadap kesehatan reproduksi, pendidikan vokasi, ekonomi mikro atau mempercepat program pengadaan rumah layak huni bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang saat ini lambat atau mandeg.

2. Untuk meningkatkan kinerja dewan pada aspek legislasi, penganggaran, dan pengawasan DPR harus memperkuat kinerja dengan menggunakan sistem yang semakin mudah diakses (aksesibel), transparan, efisien, dan inklusif bagi publik.

3. DPR sebagai simbol rakyat seharusnya memberi teladan kesederhanaan, bukan malah menggunakan uang rakyat untuk hidup dalam kemewahan. Agar kesenjangan ekonomi antara wakil rakyat dengan rakyat tidak semakin melebar.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement
Lainnya
Opini

Tragedi Bocah Sukabumi: Alarm Kegagalan Negara dalam Melindungi Warga Termiskin

Oleh Didi Irawadi Syamsuddin, S.H.,LL. M
pada hari Kamis, 21 Agu 2025
Kabar meninggalnya seorang bocah berusia tiga tahun di Sukabumi karena tubuhnya dipenuhi cacing bukan sekadar kisah tragis, tetapi potret nyata kegagalan sistemik negara dalam melindungi rakyatnya ...
Opini

Menguak Kembali Misteri Bailout BCA: Benarkah Ide Mengambil Alih 51% Saham Itu Sesat?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Beberapa waktu lalu, sebuah media perbankan menulis artikel dengan nada keras: gagasan untuk meninjau ulang bailout BCA dan wacana pengambilalihan 51% saham oleh negara ...