Amerika Serikat (AS) telah menjadi kekuatan dominan dunia sejak akhir abad ke-19, dengan puncak hegemoninya terjadi setelah Perang Dunia II. Namun, kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden 2024 membawa sinyal kuat bahwa Washington semakin bergerak menuju kebijakan multipolarisme, mengurangi peran kepemimpinan globalnya, dan lebih fokus pada kepentingan domestik.
Pertanyaannya, apakah AS benar-benar siap kehilangan dominasinya? Dan jika benar terjadi, bagaimana China, Rusia, dan negara-negara berkembang di Asia Tenggara akan merespons?
Transisi AS Menuju Multipolarisme: Pilihan atau Keniscayaan?
Sejak Trump pertama kali berkuasa pada 2017, pendekatan "America First" telah menjadi pijakan kebijakan luar negeri AS. Pada periode kedua kepemimpinannya, kebijakan ini tampaknya semakin mengarah pada penarikan diri dari keterlibatan global yang dianggap tidak menguntungkan secara langsung bagi AS. Beberapa indikator utama dari transisi ini antara lain:
1. Mengurangi Intervensi Militer Global
AS semakin enggan terlibat dalam konflik luar negeri yang tidak berdampak langsung pada kepentingannya, seperti di Ukraina dan Timur Tengah.
Beban pertahanan Eropa kini lebih banyak diserahkan kepada Jerman dan Prancis.
Fokus anggaran dialihkan ke dalam negeri untuk memperkuat ekonomi dan industri pertahanan sendiri.
2. Menarik Diri dari Inisiatif Global
Trump kembali menarik AS dari Perjanjian Paris tentang perubahan iklim.
AS keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), melemahkan pengaruhnya dalam diplomasi kesehatan global.
Pengurangan peran dalam IMF dan Bank Dunia, serta pembekuan banyak program USAID.
3. Reorientasi Ekonomi ke Dalam Negeri
Proteksionisme ekonomi semakin kuat, dengan tarif tinggi terhadap impor China dan negara lain.
AS mendorong relokasi industri manufaktur ke dalam negeri untuk meningkatkan ketahanan ekonomi domestik.
Investasi besar dalam teknologi, termasuk AI dan industri pertahanan, untuk mempertahankan daya saing global.
Perubahan kebijakan ini tidak serta-merta berarti AS mengalami kemunduran. Sebaliknya, ini bisa dipahami sebagai strategi untuk mempertahankan dominasinya dengan cara yang lebih hemat biaya dan efektif. Namun, efek sampingnya adalah munculnya kekosongan kepemimpinan global yang dapat dimanfaatkan oleh kekuatan lain, terutama China, Rusia, dan negara-negara berkembang di Asia Tenggara.
---
Peluang bagi China: Mengokohkan Kekuatan dalam Tatanan Multipolar
Bagi China, kebijakan AS ini justru membuka peluang besar untuk memperluas pengaruhnya, terutama di bidang ekonomi dan diplomasi. Beijing selama ini telah mendorong tatanan dunia multipolar melalui berbagai inisiatif, seperti:
1. Belt and Road Initiative (BRI)
Dengan semakin berkurangnya keterlibatan AS dalam proyek pembangunan global, China bisa memperkuat infrastruktur strategis di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Pendanaan China memberikan alternatif bagi negara berkembang yang sebelumnya bergantung pada AS dan IMF.
2. Dedolarisasi dan Reformasi Keuangan Global
China semakin agresif dalam mendorong penggunaan yuan dalam perdagangan internasional.
BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) berusaha membangun sistem keuangan alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
3. Aliansi dengan Negara Berkembang
China meningkatkan kerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara melalui ASEAN.
Meningkatkan peran dalam organisasi internasional, seperti G20 dan PBB, untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan AS.
Namun, tantangan utama bagi China adalah bagaimana menjaga stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri, terutama di tengah ketegangan dengan Taiwan dan persaingan teknologi dengan AS.
---
Rusia: Menguatkan Peran Geopolitik di Tengah Kelemahan AS
Bagi Rusia, berkurangnya peran AS dalam NATO dan Eropa Timur adalah peluang besar. Beberapa langkah yang bisa diambil Rusia untuk memperkuat posisinya:
1. Meningkatkan Pengaruh di Eropa Timur dan Timur Tengah
Dengan AS mengurangi dukungannya ke Ukraina, Rusia bisa lebih leluasa menegosiasikan posisi geopolitiknya.
Meningkatkan hubungan dengan negara-negara Timur Tengah seperti Iran dan Suriah.
2. Mempererat Hubungan dengan China dan Negara Global South
Rusia dan China semakin erat dalam kerja sama ekonomi dan militer, menciptakan blok tandingan bagi dominasi Barat.
Rusia berusaha memperluas ekspor energi ke Asia untuk menggantikan pasar Eropa yang semakin tertutup akibat sanksi.
Namun, Rusia masih menghadapi tekanan ekonomi akibat sanksi Barat, yang bisa membatasi ruang geraknya dalam jangka panjang.
---
Asia Tenggara: Beradaptasi dalam Tatanan Baru
Negara-negara Asia Tenggara memiliki posisi unik dalam dinamika multipolarisme ini. Mereka harus menyeimbangkan hubungan dengan AS, China, dan Rusia agar tetap mendapatkan keuntungan ekonomi dan keamanan. Beberapa kemungkinan strategi yang bisa diambil:
1. Memanfaatkan Rivalitas AS-China untuk Kepentingan Ekonomi
Negara seperti Indonesia, Vietnam, dan Malaysia bisa menarik investasi dari baik AS maupun China dengan menawarkan insentif bagi industri manufaktur dan teknologi.
ASEAN dapat memposisikan dirinya sebagai kawasan netral yang menguntungkan bagi kedua pihak.
2. Meningkatkan Otonomi Strategis dalam Keamanan Regional
Dengan AS mengurangi perannya di Asia, negara-negara ASEAN perlu memperkuat kerja sama pertahanan sendiri melalui forum seperti ADMM (ASEAN Defence Ministers" Meeting).
Aliansi militer dengan Jepang, Korea Selatan, atau bahkan India bisa menjadi alternatif untuk menjaga stabilitas kawasan.
3. Memanfaatkan Inisiatif Regional Seperti RCEP
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yang dipimpin oleh China, memberikan kesempatan bagi Asia Tenggara untuk memperkuat perdagangan intra-kawasan tanpa terlalu bergantung pada AS.
Namun, tantangan bagi ASEAN adalah bagaimana menjaga keseimbangan tanpa terseret dalam rivalitas geopolitik yang semakin tajam.
---
Kesimpulan: Dunia yang Berubah, Siapa yang Diuntungkan?
Transisi AS menuju multipolarisme bukan berarti Washington benar-benar kehilangan dominasinya. Sebaliknya, AS sedang menyesuaikan strategi untuk mempertahankan keunggulan dalam bentuk yang lebih efisien, terutama dalam ekonomi dan teknologi.
Namun, kebijakan ini membuka peluang bagi China, Rusia, dan negara-negara berkembang di Asia Tenggara untuk memainkan peran yang lebih besar di panggung global.
China bisa semakin agresif dalam proyek infrastruktur dan reformasi keuangan global.
Rusia bisa memperluas pengaruh geopolitiknya, terutama di Eropa Timur dan Timur Tengah.
Asia Tenggara memiliki kesempatan untuk menarik investasi dan membangun otonomi strategisnya sendiri.
Pada akhirnya, dunia multipolar bukan hanya soal kemunduran AS, tetapi tentang bagaimana kekuatan-kekuatan lain memanfaatkan perubahan ini untuk kepentingan mereka sendiri.
Akankah ini menjadi awal dari dunia yang lebih seimbang, atau justru menciptakan ketidakstabilan baru? Jawabannya akan ditentukan oleh bagaimana masing-masing negara meresponstransisiini.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #