Oleh Dr. Ir. H. Adies Kadir, SH., M.Hum. Wakil Ketua DPR RI pada hari Kamis, 20 Mar 2025 - 16:38:02 WIB
Bagikan Berita ini :

Anjloknya IHSG Masih Dalam Jangkauan Mitigasi

tscom_news_photo_1742463482.jpg
Adies Kadir Wakil Ketua DPR RI (Sumber foto : Istimewa)

Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat dihentikan pada Selasa, 18 Maret 2025 kemarin. Sebagian kalangan menilai, trading halt merupakan gejala awal dari krisis ekonomi yang tengah menghantui perekonomian nasional. Namun, dalam perspektif Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), fenomena tersebut sebenarnya tidak terlalu mengejutkan.

Sebagai gambaran, pada awal Februari lalu penulis berkesempatan memberikan keynote speech dalam acara bertajuk ‘Outlook Ekonomi DPR 2025’.

Dalam acara yang dihadiri para pelaku pasar terkemuka nasional tersebut, sangat terasa adanya konsensus bahwa ekonomi pada tahun 2025 akan menghadapi tantangan yang sangat berat. Tantangan tersebut berupa ketidakpastian kebijakan negara-negara ekonomi utama yang tengah berjibaku dengan perang dagang.

Dalam kesempatan itu, penulis mengutip sebuah data dari Bank Sentral Amerika Serikat, yaitu Federal Reserve Economic Data (FRED).

Menurut FRED, per Desember 2024, angka indeks ketidakpastian kebijakan ekonomi global mencapai 377 poin. Angka ini merupakan yang tertinggi kedua dalam beberapa dekade terakhir, setelah periode awal krisis pandemi Covid-19 pada Mei 2020 yang mencapai 431 poin.

Pada saat artikel ini ditulis, angka indeks ketidakpastian meningkat cukup signifikan ke level 429 poin per akhir Januari 2025.

Kenaikan indeks tersebut bisa dipahami bahwa pelaku pasar global menilai situasi ketidakpastian ekonomi saat ini relatif sebanding dengan tingkat keparahan seperti pada awal krisis pandemi.

Dalam situasi ketidakpastian yang tinggi, umumnya membuat pasar ataupun investor menjadi sangat sensitif terhadap rumor dan sentimen negatif, tidak terkecuali terjadi di pasar modal Indonesia.

Adanya data tingkat ketidakpastian global saat ini yang hampir sama dengan krisis pandemi juga memungkinkan kita untuk melakukan langkah-langkah mitigasi.

Pada saat krisis pandemi, total terjadi tujuh kali trading halt dalam kurun 9 Maret hingga 24 Maret 2020. Pada trading halt yang terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat anjlok di titik terendah pada level 3.937 atau turun 37% secara year to date.

Kembali ke situasi saat ini, trading halt baru terjadi sekali pada Selasa kemarin dengan penurunan IHSG sebesar 6,02% ke level 6.058. Sehari setelahnya, pada penutupan perdagangan Rabu, IHSG sudah naik kembali ke level 6.325. Relatif cepatnya pemulihan IHSG tersebut mengisyaratkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih kuat dibandingkan pada saat pandemi. Padahal, tantangan eksternal yang dihadapi relatif sama beratnya.

Langkah mitigasi
Lebih kuatnya fondasi ekonomi nasional saat ini tak lepas dari langkah-langkah mitigasi yang diambil oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menyadari tantangan eksternal yang berat pada 2025 ini, Pemerintah sejak awal tahun telah mengambil sejumlah kebijakan strategis. Salah satunya adalah revisi kebijakan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA).

Kebijakan baru DHE SDA dirancang untuk memperkuat cadangan devisa nasional. Kebijakan yang berlaku efektif per 1 Maret 2025 ini diharapkan dapat menjaga nilai tukar rupiah pada target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABPN) 2025 di kisaran Rp 16.000 per dolar AS. Tanpa kebijakan ini, kurs rupiah berisiko melemah hingga menembus batas psikologis Rp 17.000 per dolar AS.

Kebijakan lain yang tak kalah strategis adalah pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Danantara akan berperan penting dalam meningkatkan kapasitas investasi domestik melalui konsolidasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan ini, keberlanjutan pembangunan ekonomi nasional diharapkan tidak terlalu terganggu oleh risiko menurunnya investasi asing akibat situasi global.

Di luar dua kebijakan di atas, sebenarnya masih banyak lagi yang layak menjadi perhatian pasar. Sebut saja misalnya pendirian Bullion Bank, hilirisasi dan industrialisasi, program tiga juta rumah, serta program Makan Bergizi Gratis (MBG). Semua kebijakan tersebut tidak hanya akan semakin memperkuat fundamental ekonomi nasional, namun juga berpotensi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi hingga 8% sesuai target Presiden.

Namun demikian harus diakui, program serta kebijakan yang secara teknokratis sangat baik tersebut belum mampu dikonversi menjadi sentimen positif yang optimal di pasar. Ini disebabkan salah satunya oleh keterpaduan antar instansi dalam komunikasi dan narasi publik yang perlu ditingkatkan lebih lanjut. Dan tentunya, pasar juga masih menantikan informasi tentang progres konkret atas implementasi program-program peningkatan kapasitas ekonomi nasional yang diharapkan dapat berjalan efektif, efisien dan akuntabel.

Tingkatkan pengawasan

Satu hal lain yang harus diakui adalah bahwa anjloknya IHSG bukan semata-mata akibat faktor global. Ada juga faktor domestik yang menjadi sentimen negatif di pasar, yaitu menurunnya kinerja fiskal pada awal tahun 2025 ini.

Pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 tercatat senilai Rp 316,9 triliun atau menurun sekitar 20,8% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sebagian pelaku pasar mengkhawatirkan, penurunan pendapatan ini akan meningkatkan defisit APBN 2025 yang ditargetkan pada level 2,53% Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam hal ini, DPR RI berkeyakinan, menurunnya pendapatan negara hanya bersifat temporer dan akan segera kembali pulih dalam waktu dekat.

Meski demikian, DPR RI akan meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan fiskal tahun 2025 ini. Beberapa langkah krusial telah dilaksanakan, antara lain mendorong Direktorat Jenderal Pajak untuk menunda implementasi aplikasi Coretax secara penuh. Sebagai gantinya, wajib pajak masih dapat menggunakan aplikasi-aplikasi perpajakan eksisting hingga Coretax benar-benar siap pakai.

Selain itu, DPR RI juga akan terus memantau perkembangan indikator-indikator ekonomi maupun non-ekonomi yang relevan. Faktor non-ekonomi yang berdampak pada kepercayaan pasar antara lain yang berkaitan dengan indeks demokrasi dan indeks persepsi korupsi. DPR RI berkomitmen untuk mengawal agar kedua indeks tersebut dapat meningkat dalam periode pemerintahan ini.

Meskipun fundamental ekonomi nasional saat ini lebih kuat dibanding masa pandemi, kita tidak boleh lengah mengantisipasi setiap risiko yang mungkin terjadi. Satu hal yang pasti, anjloknya IHSG belakangan ini masih dalam jangkauan mitigasi risiko yang dilakukan Pemerintah maupun DPR RI. Pelaku pasar dan masyarakat secara umum tidak perlu ragu ataupun risau atas prospek ekonomi Indonesia tahun 2025 ini.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
RAMADHAN 2025 H ABDUL WACHID
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
RAMADHAN 2025 M HAEKAL
advertisement
RAMADHAN 2025 AHMAD NAJIB Q
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Kepala Babi Buat Tempo

Oleh Cak AT (Ahmadie Thaha)
pada hari Sabtu, 22 Mar 2025
Di negeri yang katanya demokratis ini, jurnalis ternyata masih dianggap lebih berbahaya dari koruptor. Koruptor bisa mendapatkan potongan hukuman, remisi, atau bahkan diangkat jadi komisaris BUMN. ...
Opini

Komentar Hasan Nasbi terkait Teror Kepala Babi di Kantor Tempo Tidak Menunjukan Empati dan Dukungan Bagi Kebebasan Pers

Kami mengecam keras sikap arogansi yang disampaikan oleh Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, atas peristiwa teror kepala babi di kantor Tempo. Pernyataan Hasan Nasbi yang seolah ...