JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi mengkritisi kondisi di mana ratusan ribu pekerja migran Indonesia (PMI) yang berangkat secara ilegal ke Arab Saudi di tengah pemberlakuan moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia ke negara Timur Tengah tersebut. Nurhadi menilai, atase ketenagakerjaan (atnaker) di Arab Saudi sudah kebobolan terkait persoalan ini.
Nurhadi menyebut, sejak diberlakukannya moratorium pada tahun 2015, sebanyak 183 ribu PMI tetap berangkat secara ilegal ke Arab Saudi, termasuk 25.000 orang sepanjang tahun 2024.
"Sudah jelas-jelas ada moratorium, tapi kok masih ada ratusan ribu yang berhasil berangkat secara ilegal? Ini artinya ada sistem yang lemah, ada kebobolan serius!” kata Nurhadi.
Hal tersebut disampaikan Nurhadi dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR dengan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Kepala BP2MI, Abdul Kadir Karding, di Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/4/2025).
Nurhadi pun mempertanyakan efektivitas fungsi pengawasan oleh atase tenaga kerja di Arab Saudi pasalnya angka PMI ilegal yang nekat berangkat mencapai puluhan ribu per tahun.
"Kalau begini faktanya, sebenarnya apa tugas dan fungsi atase tenaga kerja di Arab Saudi? Kok bisa kebobolan sebanyak ini,” tutur Legislator dari Dapil Jawa Timur VI itu.
Oleh karenanya, Nurhadi meminta penjelasan terkait aturan yang paling rentan dibobol. Ia mempertanyakan mana aturan yang berpotensi terjadinya pengiriman PMI secara nonprosedural dalam jumlah besar, meskipun sudah ada moratorium resmi.
"Bagaimana mungkin di tengah moratorium yang bertahun-tahun ini kita kebobolan sampai ratusan ribu PMI? Sekali lagi aturan mana yang rentan sehingga bisa dibobol? Karena pengiriman ilegal ini terus terjadi," terang Nurhadi.
Anggota Komisi di DPR yang salah satu bidang kerjanya terkait ketenagakerjaan tersebut lantas menyinggung keberadaan 183 ribu PMI nonprosedural yang saat ini bekerja di Arab Saudi. Nurhadi mempertanyakan langkah pemerintah terhadap mereka bila moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi benar-benar dicabut.
"Terkait 183 ribu PMI yang ada di Arab Saudi secara unprosedural sebelum moratorium ini dicabut bagaimana nasib mereka? Apakah mereka bisa langsung mendapat perlindungan? Diupgrade lewat melegalisasi dengan aturan baru?” paparnya.
Seperti diketahui, Pemerintah berencana mencabut moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi. Wacana ini dibarengi dengan klaim bahwa Arab Saudi membuka kuota untuk 600.000 pekerja Indonesia dengan jaminan gaji lebih dari Rp 6,5 juta untuk setiap pekerja.
Jika moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi dicabut, pemerintah Indonesia bisa meraup Rp31 triliun dari remitensi. Meski begitu, wacana ini masih menuai pro dan kontra mengingat masih banyak kasus terkait PMI di Arab Saudi yang belum terselesaikan, termasuk banyaknya kasus hukum dan kasus-kasus kekerasan yang menimpa PMI di Saudi.
Nurhadi pun menekankan pentingnya kejelasan nasib dan perlindungan bagi seluruh PMI, termasuk pekerja migran Indonesia yang masuk ke Arab Saudi melalui jalur nonprosedural.
“Apakah itu akan tetap dibiarkan tanpa status perlindungan hukum?” ungkap Nurhadi.
Selain soal wacana pencabutan moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi, rapat kerja Komisi IX DPR hari ini juga membahas penguatan tata kelola perlindungan PMI, peran atase ketenagakerjaan, hingga upaya perlindungan PMI korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di berbagai negara.
Nurhadi menegaskan bahwa perlindungan PMI adalah kewajiban negara yang harus dijalankan secara serius, bukan hanya formalitas administratif belaka.
"Harap ini menjadi perhatian serius pemerintah untuk melindungi pekerja migran kita," pungkasnya.