TEROPONGSENAYAN.COM - Di tengah dinamika politik dan ekonomi nasional, publik mulai menangkap perbedaan mencolok antara Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo Subianto, terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam (SDA). Perbedaan itu tidak hanya menyangkut pendekatan kebijakan, tetapi juga menyentuh aspek moral dan keberpihakan terhadap kepentingan negara versus kepentingan oligarki.
Selama satu dekade terakhir, kita menyaksikan bagaimana sejumlah kebijakan SDA cenderung memberi ruang pemutihan terhadap pelanggaran hukum. Perusahaan-perusahaan besar yang telah menjarah hutan, kebun, tambang, bahkan wilayah laut secara ilegal, justru difasilitasi dengan regulasi yang melegitimasi penguasaan mereka. Ironisnya, praktik ini terjadi di tengah klaim pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
Sebaliknya, Presiden terpilih Prabowo Subianto menunjukkan arah kebijakan yang berbeda. Ia mulai mengambil langkah konkret untuk mengembalikan aset negara yang dikuasai secara ilegal. Salah satu contoh yang signifikan adalah pengambilalihan lahan sawit ilegal. Dari total 17,5 juta hektare kebun sawit di Indonesia, sekitar 5 juta hektare diduga berdiri tanpa dasar hukum yang sah. Sebanyak 1 juta hektare di antaranya akan dialihkan ke BUMN baru, PT Agripalma Nusantara—angka yang hampir dua kali lipat dari total lahan sawit milik PTPN.
Langkah Prabowo bukan sekadar retorika. Ia membentuk BUMN khusus untuk misi ini, dipimpin oleh sosok berlatar belakang militer yang diyakini memiliki integritas dalam membela kepentingan negara. Bahkan, keterlibatan langsung Menhan Letjen TNI (Purn) Sjafrie Syamsuddin, selaku Ketua Harian Dewan Pertahanan Nasional, dalam proses pengambilalihan ini mengirim pesan bahwa persoalan SDA bukan hanya soal ekonomi, tetapi menyangkut kedaulatan dan keamanan nasional.
Tentu saja, langkah ini tak akan mudah. Banyak pihak yang selama ini menikmati kenyamanan dari penguasaan aset ilegal merasa terusik. Maka tak heran jika narasi demonstrasi yang semula mengarah pada “Adili Jokowi dan Lawan Oligarki” mulai bergeser menjadi “Turunkan Prabowo dan TNI Masuk Barak.” Pergeseran ini layak dicermati: apakah ini ekspresi murni masyarakat atau bagian dari strategi pengalihan isu yang dimainkan oleh pihak-pihak yang terganggu dengan agenda bersih-bersih SDA?
Dalam konteks ini, penting bagi publik untuk tidak terjebak dalam narasi yang membelokkan arah pembenahan struktural. Kita harus jernih melihat bahwa agenda pengambilalihan aset negara dari tangan oligarki bukan bentuk otoritarianisme, melainkan wujud nyata dari mandat konstitusi: bahwa kekayaan alam Indonesia harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Jika benar Prabowo konsisten pada jalur ini, maka dukungan publik sangat dibutuhkan. Penertiban kebun sawit ilegal hanyalah permulaan. Ke depan, tambang, hutan, pantai, laut, dan lahan rakyat yang dikuasai secara tidak sah pun perlu dikembalikan kepada negara.
Mendukung agenda ini bukan semata soal keberpihakan kepada seorang tokoh, melainkan perwujudan komitmen bersama untuk menegakkan keadilan ekonomi dan kedaulatan bangsa.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #