JAKARTA, 13 Juni 2025-Terbukanya skandal tambang di Raja Ampat adalah lonceng peringatan bagi bangsa ini: bahwa pengelolaan sumber daya alam selama satu dekade terakhir telah keluar dari rel konstitusi. Di kawasan yang semestinya menjadi cagar ekologi dunia, justru berlangsung praktik eksploitasi yang merusak dan diduga penuh penyimpangan. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi bentuk kegagalan moral dan politik negara dalam mengelola kekayaan yang mestinya diperuntukkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Lebih dari itu, kasus ini menyibak wajah kelam dari sistem ekonomi-politik kita yang selama ini dibungkus jargon pembangunan. Sebuah sistem yang disebut oleh banyak pengamat sebagai rezim ekstraktivisme, yakni model kekuasaan yang menggantungkan pertumbuhan ekonomi pada eksploitasi sumber daya alam tanpa kontrol lingkungan dan keadilan sosial. Rezim ini tidak sekadar menjual tambang, tetapi menjual masa depan.
Ekstraktivisme Sebagai Strategi Politik-Ekonomi
Selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengalami ledakan izin pertambangan, konsesi lahan, dan kebijakan deregulasi yang bertujuan menarik investasi besar-besaran. Namun, alih-alih memperkuat posisi rakyat dan negara, yang menguat justru adalah dominasi segelintir kelompok usaha yang memiliki afiliasi dengan elite politik. Inilah wajah ekstraktivisme: ketika kekuasaan menjelma menjadi pelayan kepentingan modal, bukan pengayom kepentingan publik.
Praktik ini semakin parah dengan lahirnya regulasi seperti UU Cipta Kerja, yang dipaksakan lewat metode legislasi kilat tanpa partisipasi publik bermakna. Dalam banyak pasalnya, UU ini memberi karpet merah bagi industri tambang dan sawit, sambil memangkas hak-hak lingkungan, tenaga kerja, dan masyarakat adat.
Di tingkat daerah, pemerintah pusat justru menarik kembali kewenangan daerah dalam pemberian izin tambang, namun tanpa memperkuat fungsi pengawasan. Akibatnya, konflik lahan, kriminalisasi warga, dan kerusakan ekologis meluas, sementara negara hadir sebagai penonton—atau bahkan mitra diam para pelaku pelanggaran.
Raja Ampat: Simbol Kegagalan Negara
Tambang di Raja Ampat menjadi simbol dari semua kegagalan tersebut. Di wilayah yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut kelas dunia, izin tambang bisa lolos dan berjalan. Padahal secara hukum, wilayah tersebut tidak boleh disentuh oleh aktivitas ekstraktif. Ini hanya mungkin terjadi jika ada kelalaian struktural atau justru kolusi antara pejabat pemerintah, pengusaha, dan penegak hukum.
Kasus ini membongkar betapa lemahnya kontrol internal negara dan betapa kuatnya cengkeraman oligarki dalam proses pengambilan kebijakan. Tidak bisa lagi publik menerima narasi bahwa ini hanya kesalahan prosedural. Ini adalah hasil dari sistem yang rusak dan dibiarkan berjalan selama satu dekade tanpa koreksi serius.
Empat Langkah Korektif bagi Pemerintahan Prabowo
Presiden Prabowo Subianto sebagai pemimpin baru memiliki tanggung jawab sejarah untuk menghentikan pusaran ekstraktivisme yang destruktif ini. Empat langkah berikut sangat mendesak dilakukan:
1. Audit Nasional Tambang dan Energi
Presiden perlu membentuk tim audit independen lintas lembaga untuk mengkaji ulang seluruh perizinan tambang dan energi selama 10 tahun terakhir. Fokus utamanya adalah menemukan penyimpangan, kerugian negara, dan potensi pelanggaran hukum.
2. Pembentukan Satgas Penertiban Tambang
Satgas lintas kementerian dan lembaga penegak hukum perlu dibentuk untuk menindaklanjuti temuan audit. Satgas ini harus berwenang melakukan pencabutan izin, penyegelan lokasi, dan pelaporan pidana atas pelanggaran berat.
3. Nasionalisasi Tambang Bermasalah
Perusahaan tambang yang melakukan pelanggaran berat—baik secara hukum, lingkungan, maupun sosial—harus dikembalikan ke negara melalui mekanisme nasionalisasi atau pengambilalihan negara. Tidak boleh ada kompromi terhadap kerugian publik.
4. Pembentukan BUMN Tambang Rakyat
Negara perlu membentuk BUMN khusus untuk mengelola tambang-tambang yang telah diambil alih. BUMN ini harus didesain dengan tata kelola profesional, transparan, dan inklusif terhadap masyarakat lokal sebagai penerima manfaat utama.
Saatnya Mengakhiri Ekstraktivisme
Selama satu dekade, Indonesia berjalan dalam model ekonomi yang rakus, eksploitatif, dan timpang. Ekonomi tumbuh, tetapi ketimpangan meningkat. Investasi mengalir, tetapi kedaulatan rakyat hilang. Ekstraktivisme telah menjadikan negara ini kaya di atas kertas, tetapi miskin dalam keadilan sosial dan keberlanjutan.
Presiden Prabowo kini memegang kendali. Bila ingin dikenang sebagai pemimpin transformasional, bukan kelanjutan status quo, maka langkah pertama yang harus diambil adalah menertibkan sektor tambang. Mulailah dari Raja Ampat. Jangan biarkan warisan alam seindah itu dirusak oleh kerakusan yang dilestarikan oleh kekuasaan masa lalu.
Bangsa ini menunggu keberanian. Dan keberanian itu harus dimulai dari memutus mata rantai ekstraktivisme politik dan ekonomi yang selama ini menghisap kehidupan rakyat—diam-diam, tetapi sistematis.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #