Pasca Perang Dunia II, dunia menyaksikan perubahan dramatis dalam lanskap politik global. Kekalahan negara-negara kolonial dan melemahnya kekuatan Eropa membuka jalan bagi bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk menyatakan kemerdekaannya secara bertahap namun pasti. Proses dekolonisasi ini bukan hanya mewakili pergeseran kekuasaan, tetapi juga menandai kebangkitan kesadaran kolektif yang menolak penindasan dan imperialisme.
Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 menjadi simbol kuat dari solidaritas negara-negara yang baru merdeka. Di sinilah benih-benih populisme nasional mulai tumbuh: sebuah gerakan politik yang menempatkan rakyat sebagai sumber legitimasi dan menolak dominasi elit asing maupun lokal. Populisme ini, pada tahap awalnya, bersifat membebaskan—sebuah usaha untuk membangun sistem politik dan ekonomi yang berakar dari realitas masyarakat sendiri, bukan salinan dari model kolonial.
Namun, dunia yang terbebas dari kolonialisme formal tak serta-merta bebas dari konflik ideologis. Perseteruan antara sosialisme dan kapitalisme—yang terwujud dalam bentuk Perang Dingin—membelah dunia ke dalam dua blok besar. Negara-negara yang baru merdeka sering kali terjebak dalam tarik-menarik dua ideologi tersebut, menjadi ladang eksperimen pembangunan dan medan perang proksi. Di satu sisi, kapitalisme liberal menjanjikan pertumbuhan ekonomi; di sisi lain, sosialisme menjanjikan keadilan sosial.
Salah satu negara yang mengalami transisi mencolok dan menjadi inspirasi dunia adalah Republik Rakyat Tiongkok. Setelah Revolusi 1949 yang dipimpin Mao Zedong, China memilih jalur sosialisme. Namun, sejak era Deng Xiaoping, negeri ini mengadopsi sistem ekonomi pasar yang dikontrol ketat oleh negara. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi luar biasa selama empat dekade, menjadikan China sebagai kekuatan ekonomi kedua dunia. Model China kini menjadi alternatif bagi negara-negara berkembang yang skeptis terhadap demokrasi liberal ala Barat. Dalam banyak hal, China membuktikan bahwa pembangunan bisa dicapai tanpa liberalisasi politik, sebuah tesis yang mengguncang asumsi lama dunia internasional.
Sebaliknya, Amerika Serikat, yang selama Perang Dingin tampil sebagai kampiun demokrasi dan kapitalisme, kini menghadapi kemunduran. Polarisasi politik dalam negeri, stagnasi moral, serta berbagai kegagalan dalam kebijakan luar negeri (seperti di Irak dan Afghanistan) memperlemah posisi hegemoniknya. AS masih memiliki kekuatan militer dan teknologi yang besar, tetapi kehilangan daya pikat moralnya di mata dunia. Dalam banyak hal, Amerika hari ini lebih sibuk dengan pertarungan internal daripada memimpin tatanan dunia.
Fenomena menarik lainnya adalah menyebarnya populisme ke berbagai penjuru dunia, termasuk di negara-negara maju. Populisme modern sering kali muncul dari krisis representasi—ketika rakyat merasa tidak lagi diwakili oleh elite politik yang ada. Di Barat, populisme kanan berkembang melalui retorika anti-imigran, anti-globalisasi, dan anti-elit, sebagaimana terlihat dalam fenomena Donald Trump, Brexit, hingga Marine Le Pen. Di dunia berkembang, populisme hadir dengan wajah yang berbeda: mengusung nasionalisme, kedaulatan ekonomi, dan bahkan kadang bersekutu dengan militerisme atau otoritarianisme.
Populisme hari ini tidak lagi hanya sebuah semangat pembebasan, tetapi bisa menjelma menjadi alat kekuasaan baru yang anti-kritik dan otoriter. Di sinilah kita melihat paradoks zaman: semangat yang lahir dari penderitaan rakyat justru bisa melahirkan kekuasaan yang jauh dari nilai-nilai demokrasi.
Dalam konteks ini, dunia sedang bergerak menuju sebuah tatanan baru yang belum sepenuhnya terbentuk. Pertarungan antara kapitalisme dan sosialisme kini menjelma dalam bentuk persaingan antara dua model besar: demokrasi liberal Barat vs otoritarianisme teknokratik Timur. Bukan lagi soal ideologi, tetapi soal efektivitas, stabilitas, dan hasil nyata.
Bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, tantangannya bukan hanya memilih di antara dua model itu, tetapi menciptakan jalan ketiga: demokrasi yang kuat, ekonomi yang adil, serta pemerintahan yang berpihak pada rakyat tanpa jatuh dalam populisme semu. Kita butuh negara yang berdaulat, bukan hanya secara politik, tetapi juga secara moral dan intelektual.
Sejarah telah membuktikan bahwa kemerdekaan adalah awal, bukan akhir. Maka, perjuangan bangsa Asia-Afrika hari ini adalah bagaimana memastikan kedaulatan itu bermakna bagi seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elite.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #