Oleh Ariady Achmad pada hari Kamis, 17 Jul 2025 - 10:22:21 WIB
Bagikan Berita ini :

Kesepakatan Tarif RI-AS ala Trump: Akses Pasar atau Perangkap Baru?

tscom_news_photo_1752722541.jpeg
Donald Trump & Prabowo (Sumber foto : AP Photo)

TEROPONGSENAYAN.COM - JAKARTA, 16 Juli 2025 – Dunia dikejutkan oleh pernyataan calon Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump, yang mengumumkan bahwa mulai 1 Agustus 2025, produk Indonesia yang masuk ke pasar AS akan dikenakan tarif 19%, turun dari ancaman semula sebesar 32%. Sebagai kompensasi, Indonesia disebut akan menghapus tarif untuk produk-produk asal AS, termasuk komitmen pembelian energi, agrikultur, dan 50 pesawat Boeing. Trump pun memuji Presiden Prabowo Subianto sebagai "pemimpin hebat dan kuat", menandakan intensitas diplomatik kedua negara meningkat tajam.

Namun, benarkah kesepakatan ini murni kemenangan diplomatik? Atau justru awal dari jebakan struktural baru dalam arsitektur perdagangan global?


---

Manfaat Sementara: Akses Pasar & Diplomasi Elit

Trump memosisikan kesepakatan ini sebagai win-win solution. Di atas kertas, Indonesia masih mendapat akses ke pasar AS – mitra dagang non-migas terbesar ketiga RI – dengan tarif lebih rendah dari ancaman awal.

Di sisi diplomatik, peran Prabowo dipuji secara terbuka. Ini mengirim sinyal positif ke pasar bahwa Indonesia dipandang sebagai mitra strategis di Indo-Pasifik, terlebih di tengah memanasnya ketegangan AS–China. Pujian Trump juga berpotensi memperkuat posisi Indonesia di mata investor global.

Dampak Ekonomi Nyata: Masih Abu-abu

Meski tidak diberlakukan larangan ekspor, tarif 19% tetap tinggi. Artinya, barang-barang ekspor Indonesia menjadi kurang kompetitif dibandingkan negara-negara pesaing yang memiliki skema dagang bebas seperti Meksiko atau Vietnam. Sektor industri padat karya seperti tekstil, furnitur, dan elektronik ringan akan paling terdampak.

Yang lebih mengkhawatirkan, kesepakatan ini disertai komitmen pembelian besar-besaran dari AS:

USD 15 miliar untuk energi

USD 4,5 miliar untuk produk agrikultur

50 unit pesawat Boeing


Jika pembelian tersebut dibiayai melalui mekanisme utang atau beban fiskal yang belum direncanakan matang, maka Indonesia bisa masuk ke dalam jebakan utang dagang yang memukul neraca pembayaran.

Dampak pada Industri Sawit: Ancaman Nyata

Industri kelapa sawit – yang menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja langsung dan tidak langsung – menghadapi risiko signifikan.

Walaupun AS bukan pasar utama CPO Indonesia (dibandingkan India dan Tiongkok), namun keputusan tarif tinggi terhadap produk turunan sawit (seperti biodiesel dan oleokimia) akan mengurangi daya saing ekspor Indonesia. Terlebih, kelompok proteksionis AS sebelumnya telah mendorong tuduhan tidak ramah lingkungan pada produk sawit RI.

Jika produk sawit dikenai tarif 19%, produsen harus mengerek harga jual atau menerima margin yang menipis. Ini bisa berdampak pada harga tandan buah segar (TBS) petani, yang sudah mengalami volatilitas karena permintaan global melemah.

Solusi yang perlu dipikirkan:

Diversifikasi pasar sawit (Afrika, Timur Tengah)

Penetrasi pasar baru melalui skema G-to-G dan e-commerce

Diplomasi dagang berbasis sustainability & fair trade

Manajemen Utang: Waspada Komitmen Belanja Strategis

Komitmen pembelian pesawat Boeing dan energi AS tidaklah kecil. Jika dilakukan dalam tempo singkat, risiko fiskal akan meningkat. Utang luar negeri Indonesia per Mei 2025 sudah mencapai USD 421 miliar, dan pembayaran bunga tahun ini diproyeksikan menyentuh Rp 480 triliun.

Jika pembelian produk AS dilakukan dengan skema kredit ekspor berbunga tinggi atau tanpa proses tender terbuka, maka bisa mengulang skenario “jebakan alutsista” di masa lalu—pembelian besar tanpa transfer teknologi memadai.

Maka, prinsip kehati-hatian perlu ditegakkan:

Transparansi dalam skema pembelian

Usulan offset agreement atau co-manufacturing untuk pesawat dan energi

Pembentukan tim lintas kementerian (Perdagangan, Keuangan, BUMN, Bappenas) untuk evaluasi kelayakan dan pengaruhnya terhadap neraca dagang jangka panjang

Kesimpulan: Antara Peluang dan Perangkap

Kesepakatan Indonesia–AS yang diumumkan Trump memang menyelamatkan RI dari tarif 32%. Tapi dengan membayar tarif 19% dan berkomitmen membeli produk bernilai miliaran dolar, Indonesia sebetulnya menerima kesepakatan asimetris—akses dibayar mahal, sedangkan AS menikmati pasar bebas hambatan.

Kuncinya kini terletak pada:

1. Negosiasi lanjutan yang cerdas


2. Evaluasi tiap item pembelian strategis secara transparan dan akuntabel


3. Penguatan daya saing domestik, terutama sektor yang terdampak seperti sawit, tekstil, dan manufaktur ringan

Presiden Prabowo harus menjadikan kesepakatan ini sebagai momentum reposisi diplomasi ekonomi—bukan sebagai beban jangka panjang yang menggerus kemandirian fiskal dan keadilan ekonomi rakyat.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement