Kunjungan Presiden terpilih Prabowo Subianto ke kediaman Presiden Joko Widodo di Solo beberapa waktu lalu menimbulkan berbagai interpretasi di tengah masyarakat. Tidak sedikit kalangan yang menganggapnya sebagai bentuk penghormatan terhadap presiden petahana. Namun, tidak sedikit pula yang menilainya sebagai simbol ketidakmandirian politik di awal masa transisi kekuasaan.
Dalam opini kritis yang disampaikan oleh M. Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan, muncul kekhawatiran bahwa Prabowo, alih-alih mengambil jarak dengan rezim sebelumnya untuk membangun arah kepemimpinan baru, justru menunjukkan sikap yang terlalu kompromistis terhadap kekuasaan lama. Hal ini dipandang sebagai kerapuhan awal dalam menunjukkan orientasi kerakyatan yang tegas dan independen.
Isu Kemandirian dan Simbol Politik
Presiden terpilih idealnya mulai memperlihatkan gestur politik yang mencerminkan keberpihakan terhadap rakyat, bukan sekadar menjaga kenyamanan relasi dengan elite penguasa sebelumnya. Ketika Prabowo sowan ke rumah pribadi Jokowi dan melaporkan urusan luar negeri dengan membawa beberapa menteri, banyak pihak menilai bahwa tindakan tersebut lebih menyerupai laporan seorang pembantu kepada atasan, ketimbang seorang pemimpin negara yang bersiap mengambil tongkat estafet kekuasaan secara penuh.
Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Dr. Feri Amsari, sikap seorang Presiden terpilih seharusnya menunjukkan kemandirian sebagai pemegang mandat rakyat.
> “Ketika Presiden terpilih tidak mengambil jarak kritis terhadap kekuasaan sebelumnya—terutama jika terdapat dugaan pelanggaran konstitusi—maka ada potensi penurunan legitimasi moral sejak awal masa kepemimpinannya,” ujar Feri Amsari.
Gestur-gestur politik Prabowo yang terkesan pasif terhadap isu-isu publik yang krusial seperti dugaan pemalsuan ijazah Presiden Jokowi, desakan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka, hingga kontroversi proyek reklamasi PIK 2 yang disebut mengancam kedaulatan, semakin memperkuat anggapan bahwa Prabowo belum memposisikan dirinya secara tegas sebagai pemimpin baru yang membawa angin perubahan.
Rocky Gerung: Kepemimpinan Harus Menghormati Akal Sehat Publik
Filsuf publik Rocky Gerung, yang dikenal kritis terhadap relasi oligarki dalam kekuasaan, juga menyoroti relasi antara Prabowo dan Jokowi. Dalam salah satu diskusi publik, Rocky menyatakan:
> “Kalau Prabowo masih menghadap Jokowi seolah-olah Jokowi adalah pemegang kendali kekuasaan pasca pemilu, maka itu bukan politik kedaulatan, itu politik perpanjangan tangan kekuasaan lama. Padahal rakyat berharap perubahan.”
Rocky menambahkan bahwa kepemimpinan Prabowo akan ditakar dari keberaniannya mengambil keputusan yang melawan kenyamanan politik elite demi menyelamatkan akal sehat demokrasi.
> “Negara ini terlalu lama dipimpin oleh simbol, bukan oleh isi. Prabowo punya kesempatan membalik itu. Tapi kalau dia memilih tetap berada dalam orbit Jokowi, maka dia hanya menjadi simbol lain dari kekuasaan yang kehilangan substansi,” tegasnya.
Kesalahan Tafsir Pemakzulan: Menyoal Pernyataan Jokowi
Pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut bahwa pemakzulan harus dilakukan satu paket antara Presiden dan Wakil Presiden juga menuai kontroversi. Hal ini bertentangan dengan Pasal 7A UUD 1945 yang dengan jelas mengatur bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan secara terpisah melalui mekanisme hukum dan politik yang telah ditetapkan.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam beberapa pernyataannya menegaskan bahwa:
> “Tidak ada dalam konstitusi yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden harus diberhentikan bersama. Jika salah satu terbukti melakukan pelanggaran hukum berat atau tidak memenuhi syarat konstitusional, maka ia dapat diberhentikan secara individu.”
Dengan demikian, upaya menekan Prabowo untuk terus melindungi Gibran demi alasan paket politik semata bukan saja menyalahi prinsip hukum tata negara, tetapi juga melemahkan semangat demokrasi yang menuntut akuntabilitas individual dalam jabatan publik.
Mengembalikan Orientasi pada Kedaulatan Rakyat
Rakyat berharap, Presiden terpilih menunjukkan sikap kepemimpinan yang berpihak kepada kebenaran, hukum, dan keadilan sosial. Kekecewaan publik terhadap stagnasi hukum, korupsi kebijakan, serta intervensi kekuasaan dalam pemilu, harus ditanggapi dengan langkah-langkah tegas yang menunjukkan komitmen pada reformasi.
Jika Prabowo gagal menunjukkan keberanian politik, maka rakyat memiliki hak konstitusional untuk mendesak perubahan, bahkan melalui mekanisme yang sah seperti hak angket dan pemakzulan. Tentu, hal tersebut bukanlah pilihan pertama, tetapi harus selalu menjadi opsi dalam demokrasi konstitusional apabila pemimpin yang diberi mandat justru mengabaikan suara rakyat.
Penutup: Menakar Arah Pemerintahan Baru
Saat ini, sejarah memberi ruang kepada Prabowo untuk memilih: menjadi pemimpin yang membebaskan bangsa dari bayang-bayang masa lalu, atau menjadi bagian dari sistem yang sedang dikritik masyarakat luas.
Kecerdasan politik tidak hanya diukur dari kemampuan membangun koalisi, tetapi juga dari keberanian untuk membela nilai. Kecerdasan emosional seorang pemimpin—yakni kemampuannya merasakan kegelisahan rakyat, menyelami kekecewaan konstituen, dan menjawabnya dengan langkah konkret—akan menjadi ukuran utama dalam lima tahun ke depan.
Rakyat kini menunggu, apakah Prabowo akan berdiri sebagai negarawan—atau hanya menjadi pewaris kekuasaan tanpa arah dan jiwa perubahan.
> “Kepemimpinan tanpa keberanian moral hanyalah jabatan administratif. Dan rakyat tidak butuh administrator. Mereka butuh pembebas.”
— Rocky Gerung
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #