TEROPONGSENAYAN.COM, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto serta 1.116 terpidana lainnya. Keputusan ini, yang disetujui DPR melalui rapat konsultasi pada 31 Juli 2025, memicu pro dan kontra di tengah sorotan publik terhadap politisasi hukum di Indonesia.
Berdasarkan dua Surat Presiden tertanggal 30 Juli 2025 (Nomor R43/PRES/07/2025 untuk abolisi Tom Lembong dan Nomor R42/PRES/07/2025 untuk amnesti), langkah ini dianggap sebagai upaya strategis untuk mencegah “penyanderaan politik melalui rekayasa hukum,” sebagaimana disampaikan mantan Menkopolhukam Mahfud MD. Namun, di balik narasi kepentingan nasional, muncul pertanyaan: apakah keputusan ini benar-benar menegakkan keadilan atau justru menutup peluang pengungkapan fakta hukum yang lebih luas?
Abolisi Tom Lembong: Menghentikan Proses Hukum Impor Gula
Tom Lembong, yang divonis 4,5 tahun penjara pada 18 Juli 2025 atas kasus korupsi impor gula kristal mentah periode 2015-2016, menjadi sorotan utama. Hakim menyatakan Tom bersalah karena kebijakan impornya menyebabkan kerugian negara Rp 194,7 miliar, meskipun lebih rendah dari tuduhan jaksa sebesar Rp 578 miliar. Tim hukum Tom, yang dipimpin Zaid Mushafi, berulang kali menegaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan diskresi administratif atas perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjaga stabilitas harga gula, bukan untuk keuntungan pribadi.
Menariknya, Jokowi mengakui di media bahwa ia memerintahkan operasi pasar untuk gula, meski teknis pelaksanaannya diserahkan ke Kementerian Perdagangan. Pengakuan ini muncul setelah vonis Tom dan menjelang keputusan abolisi, memicu spekulasi bahwa langkah ini tidak hanya membebaskan Tom, tetapi juga menghentikan potensi pengusutan lebih lanjut terhadap pihak lain, termasuk Jokowi atau menteri lain yang terlibat dalam kebijakan serupa.
Abolisi, yang menghentikan proses hukum dan eksekusi vonis, membuat Tom Lembong kemungkinan segera bebas setelah Keputusan Presiden (Keppres) diterbitkan. Namun, langkah ini juga menutup peluang banding, baik dari Tom maupun Kejaksaan Agung, yang berpotensi mengungkap fakta baru terkait kebijakan impor gula.
Amnesti Hasto Kristiyanto: Mengakhiri Politisasi Kasus Harun Masiku?
Sementara itu, amnesti untuk Hasto Kristiyanto, yang divonis 3,5 tahun penjara pada 25 Juli 2025 atas kasus suap terkait Harun Masiku, menjadi bagian dari pengampunan terhadap 1.116 terpidana, termasuk kasus penghinaan terhadap presiden. Meski hakim menyatakan Hasto tidak terbukti merintangi penyidikan, vonisnya tetap memicu persepsi bahwa kasus ini sarat muatan politik, mengingat posisinya sebagai tokoh kunci PDI-P, partai oposisi pada pemerintahan sebelumnya.
Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa amnesti ini diusulkan berdasarkan kepentingan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Politikus PDI-P pun memuji langkah Prabowo sebagai tindakan “berani dan arif” yang menunjukkan komitmen untuk merajut persaudaraan nasional. Namun, cakupan amnesti yang luas—mencakup lebih dari seribu terpidana—mengundang pertanyaan tentang kriteria pemilihan dan transparansi prosesnya.
Mahfud MD: Hukum Tidak Boleh Jadi Alat Politik
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menjadi salah satu tokoh yang mendukung keputusan ini. Ia menilai abolisi dan amnesti ini membuktikan adanya nuansa politik dalam kasus Tom Lembong dan Hasto, sejalan dengan “jeritan hati nurani masyarakat” bahwa hukum tidak boleh menjadi alat politik. Menurut Mahfud, langkah Prabowo menunjukkan wewenang presiden untuk menghentikan praktik penyanderaan politik melalui rekayasa hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 dan UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954.
Namun, pujian Mahfud juga memunculkan pertanyaan kritis: jika kasus ini memang sarat politisasi, mengapa pengungkapan kebenaran material tidak dikejar melalui proses hukum yang transparan? Apakah abolisi dan amnesti justru menjadi “jalan pintas” yang menghambat akuntabilitas?
Kontroversi dan Pertanyaan Publik
Meski sah secara hukum, keputusan abolisi dan amnesti ini tidak luput dari kritik. Pertama, alasan “kepentingan nasional” yang dikemukakan pemerintah terkesan umum dan kurang transparan. Publik berhak mengetahui kriteria spesifik mengapa Tom Lembong dan Hasto dipilih untuk mendapat pengampunan, terutama mengingat kasus mereka melibatkan isu korupsi dan suap yang sensitif.
Kedua, waktu pengakuan Jokowi tentang perintah impor gula di media, bukan di pengadilan, memicu spekulasi bahwa abolisi ini juga bertujuan melindungi pihak lain, termasuk mantan presiden. Jika kebijakan impor gula memang merupakan diskresi resmi, mengapa pengakuan ini tidak disampaikan dalam sidang untuk mengklarifikasi tanggung jawab hukum? Penghentian proses hukum Tom Lembong melalui abolisi membuat pertanyaan ini sulit terjawab.
Ketiga, amnesti untuk 1.116 terpidana, termasuk kasus penghinaan terhadap presiden, menimbulkan persepsi bahwa pemerintah ingin “merangkul semua pihak” demi stabilitas politik. Namun, tanpa penjelasan rinci, langkah ini rawan dianggap sebagai upaya meredam kritik tanpa menyelesaikan akar masalah politisasi hukum.
Langkah Strategis atau Kompromi Politik?
Secara hukum, abolisi dan amnesti adalah hak prerogatif presiden yang telah melalui persetujuan DPR, sehingga tidak dapat digugat secara prosedural. Namun, dari perspektif jurnalisme independen, keputusan ini menimbulkan dilema: di satu sisi, langkah Prabowo dapat dilihat sebagai upaya meredakan polarisasi politik dengan membebaskan tokoh-tokoh dari kubu yang berbeda; di sisi lain, penghentian proses hukum berpotensi menutup kebenaran dan menghambat akuntabilitas.
Untuk menjaga kepercayaan publik, pemerintah perlu memberikan penjelasan yang lebih transparan tentang dasar pengambilan keputusan ini. Selain itu, jika tujuannya adalah mencegah politisasi hukum, maka reformasi sistemik dalam penegakan hukum—termasuk independensi KPK dan Kejaksaan—jauh lebih mendesak ketimbang pengampunan selektif.
Keputusan ini mungkin menjadi langkah awal Prabowo untuk membangun harmoni politik di awal kepemimpinannya. Namun, tanpa transparansi dan komitmen untuk mengungkap kebenaran, “abolisi dan amnesti gate” ini berisiko dianggap sebagai kompromi politik yang mengorbankan keadilan.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #