Oleh Faidal Bintang pada hari Jumat, 01 Agu 2025 - 18:02:42 WIB
Bagikan Berita ini :

MEMBACA ABOLISI TOM LEMBONG

tscom_news_photo_1754046162.jpg
Presiden Prabowo Subianto dan Tom Lembong (Sumber foto : Istimewa)

TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, Presiden Prabowo Subianto membuka lembaran baru dalam sejarah hukum Indonesia dengan memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, dua tokoh yang sebelumnya menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap dan korupsi.

Dalam tradisi hukum kita, amnesti berarti pengampunan terhadap kesalahan: pelaku tetap dianggap bersalah, tetapi kesalahannya diampuni negara. Sedangkan abolisi berarti menganggap seseorang tidak layak diadili karena proses atau substansi perkaranya dinilai cacat sejak awal—ia diposisikan sebagai orang tak bersalah yang tidak seharusnya berada di kursi pesakitan.

Konstitusi (UUD 1945) memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberikan grasi, amnesti, dan abolisi, dengan persetujuan DPR. Pemberian grasi adalah hal yang rutin—ribuan napi menerima pengurangan hukuman tiap tahun, umumnya setiap 17 Agustus. Amnesti bersifat lebih selektif dan banyak diberikan dalam konteks politik. Adapun abolisi sangat jarang diterbitkan.

Sejarah mencatat, Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, hingga Abdurrahman Wahid pernah memberikan amnesti, terutama untuk kasus separatisme, pembangkangan, atau pemberontakan. Namun, sangat jarang pemberian amnesti—apalagi abolisi—dilakukan dalam konteks kasus korupsi.

Kasus Sri Bintang Pamungkas menjadi contoh penting. Ia dijatuhi hukuman atas tuduhan menghina Presiden Soeharto dan melakukan makar. Presiden Habibie kemudian memberikan amnesti atas penghinaan tersebut dan abolisi atas tuduhan makar—sebuah langkah yang menunjukkan koreksi presiden terhadap kriminalisasi politik.

Langkah Presiden Prabowo terhadap Hasto dan Tom Lembong pun dapat dibaca dalam semangat yang sama, meskipun konteksnya berbeda. Dalam kasus Hasto, presiden mengakui kesalahan telah terjadi namun memilih mengampuni. Dalam kasus Tom Lembong, presiden menilai bahwa proses peradilannya cacat, sehingga Tom tak layak diadili sejak awal. Sebuah bentuk check and balances dari eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif.

Langkah ini bisa dibaca sebagai koreksi terhadap peradilan yang dinilai sesat. Dalam sistem hukum yang sehat, Tom Lembong seharusnya bisa bebas bahkan tanpa abolisi. Namun ketika sistem tak mampu membebaskannya, presiden turun tangan sebagai korektor.

Pertanyaannya: apakah langkah ini merupakan bagian dari visi besar reformasi hukum, atau sekadar deal politik jangka pendek dalam semangat rekonsiliasi antar elit?

Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menyebut langkah ini sebagai bagian dari semangat persatuan menjelang Hari Kemerdekaan. Tapi narasi ini tidak cukup menjawab kegelisahan publik: Apakah koreksi serupa juga akan diberikan kepada rakyat biasa yang menjadi korban ketidakadilan hukum?

Realitasnya, praktik peradilan sesat dan penyalahgunaan wewenang masih banyak terjadi, bahkan sejak proses pemberkasan oleh polisi. Pekan ini, misalnya, aktivis Aksi Kamisan ditangkap hanya karena menyuarakan kritik terhadap kapitalisme—sebuah tuduhan yang ironis, mengingat dalam putusan Tom Lembong, hakim justru menyebut dukungan terhadap kapitalisme sebagai faktor pemberat hukuman.

Kita menyaksikan bagaimana hukum kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Penyidik, jaksa, hingga hakim seringkali tidak menjalankan tugasnya dengan objektif. Kepercayaan terhadap KPK pun terus merosot.

Di tengah situasi hukum yang bobrok secara sistemik, korban-korban terbesar justru adalah rakyat biasa yang tak punya akses terhadap kekuasaan atau panggung publik seperti Hasto atau Tom Lembong.

Presiden Prabowo memiliki peluang untuk mengulang langkah Presiden Habibie: mengembalikan akal sehat hukum—bahwa mengkritik pemerintah bukanlah kejahatan. Bahwa mendukung sistem ekonomi tertentu bukanlah subversi. Bahwa kebebasan berekspresi adalah fondasi demokrasi.

Namun perlu dicatat: Presiden tidak bisa mengoreksi satu per satu kasus peradilan sesat. Ia membutuhkan kerja institusional yang menyeluruh. Itu sebabnya, reformasi hukum yang bersifat struktural dan menyentuh akar—terutama institusi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman—menjadi keharusan mendesak.

Presiden bersama DPR mesti memastikan bahwa reformasi ini berjalan tanpa pandang bulu, tidak diskriminatif, dan bukan sekadar simbolisasi politik.

Jika tidak, pemberian abolisi kepada Tom Lembong hanya akan tercatat sebagai anomali sejarah—bukan titik balik reformasi hukum.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

GEMPA POLITIK DI SOLO: PRABOWO, AMNESTI, DAN TAFSIR BARU HUBUNGAN DENGAN PDIP

Oleh Ariady Achmad
pada hari Jumat, 01 Agu 2025
Dari Surat Presiden ke Getaran Politik Pada 30 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto mengirim dua Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI: Surpres Nomor R‑42/Pres/07/2025 tentang pemberian ...
Opini

Abolisi dan Amnesti: Ketika Presiden Harus Memulai Inisiatif

TEROPONGSENAYAN.COM, Jakarta - "Keadilan tak selalu harus diminta. Dalam situasi tertentu, negara—melalui Presiden—harus tahu kapan harus memberikannya." Itulah esensi dari ...