Oleh Achmad Faridz Ramadhan pada hari Kamis, 28 Agu 2025 - 11:11:07 WIB
Bagikan Berita ini :

Golkar, Soeharto, dan Bayang-Bayang yang Tak Pernah Hilang

tscom_news_photo_1756354267.jpg
Soeharto (Sumber foto : Istimewa)

TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, Partai Golkar adalah partai dengan sejarah politik paling panjang dan penuh paradoks di Indonesia. Sejak awal kelahirannya sebagai mesin politik Orde Baru, hingga kini bertransformasi dalam lanskap demokrasi multipartai, Golkar tetap tidak pernah bisa melepaskan diri dari bayang-bayang keluarga Presiden Soeharto.

Pernyataan bahwa “Golkar tidak mungkin memberi jarak terhadap keluarga almarhum Presiden Soeharto” bukanlah sekadar retorika. Ia adalah realitas politik yang membentuk karakter partai ini. Upaya membuat jarak sejatinya wajar dalam dunia politik modern, demi membangun identitas baru. Namun dalam konteks Golkar, sejarah, memori kolektif publik, hingga kalkulasi elektoral membuat hal itu nyaris mustahil.

Warisan Politik Orde Baru

Selama lebih dari tiga dekade, Soeharto adalah wajah Golkar. Pencitraan sebagai Partai Pembangunan melekat kuat, bahkan setelah lengsernya sang jenderal. Reformasi 1998 tidak serta-merta menghapus jejak keluarga Cendana. Mereka tetap hadir, baik secara langsung melalui politik praktis maupun secara simbolik sebagai “legitimasi sejarah.”

Keluarga Soeharto—Tutut, Titiek, Tommy—mungkin tidak selalu berada di garis depan partai, tetapi tetap menjadi orbit yang tak bisa dilepaskan Golkar. Dari masa Akbar Tanjung hingga kini Bahlil Lahadalia, keluarga Cendana tetap menjadi referensi, entah sebagai sahabat, sekutu politik, atau bayangan yang harus dirawat.

Timeline: Cendana di Panggung Golkar Pasca-Reformasi

1998–2004 (Era Akbar Tanjung)
Golkar bertahan hidup setelah kejatuhan Soeharto. Akbar membawa partai ini ke jalur demokratis, tetapi tetap menjaga komunikasi dengan keluarga Cendana.

2004–2009 (Era Jusuf Kalla)
Jusuf Kalla mendorong modernisasi Golkar, namun kedekatan personal dengan keluarga Soeharto membuat Cendana tetap memiliki akses politik.

2009–2014 (Era Aburizal Bakrie)
Kedekatan dengan Tutut dan Titiek semakin terlihat. Nostalgia Orde Baru kerap dihidupkan sebagai bahan kampanye.

2014–2018 (Era Setya Novanto)
Titiek Soeharto muncul sebagai anggota DPR RI dari Golkar. Bahkan sempat digadang menjadi calon Ketua Umum.

2018 (Munaslub Golkar)
Titiek keluar dari Golkar dan bergabung dengan Partai Berkarya yang dipimpin Tommy Soeharto. Namun, jejaring Cendana tetap eksis di tubuh Golkar.

2019–2024 (Era Airlangga Hartarto)
Hubungan dengan keluarga Soeharto tetap cair. Narasi nostalgia masa stabilitas Orde Baru masih dipakai dalam kampanye.

2024–sekarang (Era Bahlil Lahadalia)
Bahlil hadir sebagai wajah generasi baru. Namun, dilema klasik tetap menghantui: bagaimana membangun Golkar modern tanpa menanggalkan warisan Soeharto yang masih punya daya tarik elektoral?


Analisis: Simbiosis Golkar–Cendana

Mengapa Golkar sulit menjauh? Pertama, basis historisnya. Golkar adalah ciptaan politik Orde Baru. Kedua, kekuatan ekonomi dan jaringan sosial keluarga Cendana yang masih kuat. Ketiga, kalkulasi elektoral: bagi sebagian masyarakat, Soeharto tetap dipandang sebagai simbol stabilitas dan pembangunan, meski Orde Baru sarat dengan otoritarianisme.

Dengan demikian, relasi Golkar dan Cendana bukanlah sekadar nostalgia, melainkan simbiosis mutualisme. Golkar membutuhkan legitimasi sejarah, sementara keluarga Soeharto membutuhkan wadah politik untuk tetap relevan.

Kesimpulan Editorial

Golkar ibarat kapal besar yang berlayar di antara masa lalu dan masa depan. Di satu sisi, ia ingin tampil sebagai partai modern, demokratis, dan relevan bagi generasi muda. Namun di sisi lain, ia tidak mungkin memutuskan tali sejarah dengan Soeharto.

Bagi Golkar, Soeharto adalah beban sekaligus modal. Beban karena stigma Orde Baru sulit dihapus. Modal karena bayangan Soeharto masih punya daya tarik elektoral yang nyata.

Ke depan, kepemimpinan Bahlil Lahadalia akan menjadi ujian. Apakah ia mampu membawa Golkar keluar dari sekadar “warisan Cendana” dan menjadikannya partai yang benar-benar relevan dengan tuntutan zaman? Atau justru, Golkar akan terus menjadi partai yang hidup dalam bayang-bayang masa lalu?

Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi satu hal jelas: bayangan Soeharto tidak pernah benar-benar hilang dari Partai Golkar.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement
Lainnya
Opini

Garis Kemiskinan yang Tak Manusiawi

Oleh Swary Utami Dewi
pada hari Kamis, 28 Agu 2025
TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, "Bagaimana hitungannya, ya Bu, jika pengeluaran sehari-hari per orang dua puluh ribuan maka dia tak dibilang miskin? Saya sudah makan sangat sederhana saja di ...
Opini

Skandal Korupsi Minyak Mentah Pertamina: Antara Tata Kelola Energi, Oligarki, dan Ancaman Kedaulatan Ekonomi

TEROPONGSENAYAN.COM, Jakarta - Skandal yang Mengguncang Industri Migas Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menorehkan babak baru dalam pemberantasan korupsi energi. Kasus dugaan korupsi minyak ...