Oleh Toni Teolog Indemo pada hari Kamis, 28 Agu 2025 - 11:12:28 WIB
Bagikan Berita ini :

Dari Indomie ke Istana: Catatan Perjalanan dan Persentuhan dengan Noel

tscom_news_photo_1756354348.jpg
Reformasi (Sumber foto : Istimewa)

TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, Gerakan Reformasi 1998 bukan hanya soal tumbangnya rezim otoritarian Soeharto, melainkan juga tentang dinamika anak muda yang berani menantang status quo. Di jalan-jalan Jakarta, di kampus-kampus yang bergantian menjadi markas, hingga di ruang-ruang konsolidasi yang penuh asap rokok dan semangat idealisme, lahir generasi mahasiswa yang menorehkan sejarah.

Salah satunya adalah Imanuel Ebenezer, atau Noel, figur aktivis yang kemudian dikenal luas, bukan saja karena militansinya di lapangan, melainkan juga karena perjalanannya pasca-Reformasi yang penuh paradoks.

Sebuah Perjumpaan di Universitas Sahid

Menjelang peristiwa Semanggi I, saya bertemu Noel di Universitas Sahid. Saat itu, saya tengah mendampingi tiga orang bule dari sebuah LSM berbasis di New York yang sedang membuat film dokumenter tentang gerakan pro-demokrasi Indonesia. Mereka ingin mewawancarai sejumlah tokoh mahasiswa, salah satunya Adian Napitupulu.

Di luar ruang rapat konsolidasi, saya melihat Noel sibuk memasak mi instan. Ia menghidangkannya di baskom kecil, lalu makan dengan tangan yang ditaruh di gelas plastik—barangkali karena tak ada piring bersih. Dengan gaya santai, ia menawarkan kepada para bule itu sambil berbahasa Inggris ala kadarnya: “You want this, you want this?” Tawaran itu ditolak dengan sopan.

Yang menarik, Noel tidak terlalu larut dalam rapat konsolidasi di dalam ruangan. Ia lebih banyak bercengkerama di luar, berbicara dengan kami, dengan bahasa tubuh yang menunjukkan bahwa baginya gerakan tidak selalu lahir dari forum formal, melainkan juga dari interaksi dan jaringan informal.

Namun jangan salah: Noel adalah seorang organizer yang tangguh. Ia kerap membawa rombongan mahasiswa dengan delapan sampai sepuluh bus metromini untuk meramaikan demonstrasi sepanjang tahun 1998. Dan ketika Forum Kota (FORKOT) pecah menjadi beberapa organ mahasiswa, ia membentuk wadah baru bernama FRONKOT—sebuah upaya mempertahankan energi kolektif mahasiswa dalam momentum transisi politik.

Dari Jalanan ke Persimpangan

Seiring waktu, euforia Reformasi mereda. Basis-basis mahasiswa yang dulu riuh rendah perlahan surut. Anak-anak muda itu kembali ke kehidupannya masing-masing: ada yang melanjutkan kuliah, masuk partai politik, bekerja di sektor swasta, bergabung dengan organisasi masyarakat sipil, atau sekadar mencari peruntungan baru. Ada pula yang beralih ke ranah kebudayaan—menjadi penulis, musisi, atau seniman jalanan di Taman Suropati, Menteng, yang sempat menjadi hotspot perlawanan mahasiswa.

Di sinilah tampak pola klasik sebuah revolusi. Seperti tahun 1945, ketika janji-janji kemerdekaan ternyata gagal diwujudkan karena korupsi dan kemewahan gaya hidup para elit Republik yang baru merdeka. Soe Hok Gie pernah menulis dengan getir: “Satu kilometer dari Istana, ada orang kelaparan yang mengais sampah.” Ironi itu berulang ketika Orde Lama digantikan Orde Baru, dan kembali terulang pasca-Orde Baru tumbang.

Transisi demokrasi 1998, yang semula digadang-gadang sebagai pintu emas menuju keadilan sosial, tak sepenuhnya berhasil. Reformasi yang diimpikan menjadi restorasi justru melahirkan deviasi. Banyak aktivis muda, termasuk mereka yang pernah memimpin aksi besar-besaran, akhirnya terserap ke dalam lingkar kekuasaan—dan perlahan kehilangan idealismenya.

Noel dan Paradoks Generasi Reformasi

Dari sosok Noel kita bisa membaca paradoks sebuah generasi. Di satu sisi, ia adalah contoh “organizer murni” yang mampu menggerakkan massa dan memelihara semangat perlawanan. Di sisi lain, perjalanan hidupnya juga merepresentasikan gejala umum anak-anak muda revolusioner yang kemudian “cepat menjadi tua” dalam artian politik: terserap ke dalam arus pragmatisme, nyaman dalam kemapanan, dan terkadang berdamai dengan sistem yang dulu ia lawan.

Inilah yang disebut banyak pengamat sebagai lahirnya “Royan Revolusi”: patologi politik dari sebuah masyarakat yang gagal mengelola momentum demokratisasi. Energi perubahan yang begitu besar pada 1998 tidak mampu diterjemahkan menjadi sistem politik yang transparan, akuntabel, dan bebas dari korupsi.

Generasi mahasiswa 1998 yang dulu mengusung idealisme, kini terbelah. Sebagian setia menjaga cita-cita awal dan memilih jalan sunyi di masyarakat sipil. Namun sebagian lain memilih bergabung dengan elit politik, menikmati fasilitas kekuasaan, bahkan melanggengkan praktik yang dulu mereka lawan.

Noblesse Oblige yang Hilang

Revolusi selalu melahirkan dua wajah. Wajah pertama adalah jiwa-jiwa baru yang setia pada cita-cita dan tanggung jawab mulia—sebuah noblesse oblige dari generasi yang merasa terpanggil untuk memberi. Wajah kedua adalah mereka yang cepat hanyut dalam kenikmatan kekuasaan, menjadi bagian dari “establishment” baru.

Noel, dan kawan-kawannya yang pernah berjuang di jalanan, adalah saksi sekaligus pelaku dari proses transformasi itu. Dari indomie yang dimakan dengan tangan di baskom kecil di Universitas Sahid, hingga kedekatan dengan lingkaran kekuasaan negara, ia mewakili sebuah perjalanan penuh ironi: dari kesederhanaan perlawanan menuju kompleksitas politik pasca-Reformasi.

Dan di titik inilah kita, sebagai bangsa, perlu merenung: apakah Reformasi hanya menjadi catatan sejarah penuh euforia, ataukah masih menyimpan api kecil yang suatu hari bisa kembali menyala—didorong oleh generasi baru yang berani mengambil tanggung jawab, bukan sekadar menikmati hasilnya?

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement
Lainnya
Opini

Garis Kemiskinan yang Tak Manusiawi

Oleh Swary Utami Dewi
pada hari Kamis, 28 Agu 2025
TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, "Bagaimana hitungannya, ya Bu, jika pengeluaran sehari-hari per orang dua puluh ribuan maka dia tak dibilang miskin? Saya sudah makan sangat sederhana saja di ...
Opini

Skandal Korupsi Minyak Mentah Pertamina: Antara Tata Kelola Energi, Oligarki, dan Ancaman Kedaulatan Ekonomi

TEROPONGSENAYAN.COM, Jakarta - Skandal yang Mengguncang Industri Migas Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menorehkan babak baru dalam pemberantasan korupsi energi. Kasus dugaan korupsi minyak ...