Perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terjadi pada periode 1999–2002, ketika UUD 1945 mengalami empat kali amandemen. Proses yang kerap disebut sebagai "kudeta konstitusi" itu berpuncak pada 10 Agustus 2002, saat MPR mengesahkan Ketetapan tanpa nomor yang secara de facto mengubah wajah konstitusi. Mekanisme pemilihan pemimpin, baik nasional maupun daerah, bergeser dari harapan berbasis integritas menuju arena kompetisi yang ditentukan oleh popularitas dan kekuatan modal.
Dampaknya terasa nyata. Sistem yang seharusnya melahirkan negarawan justru melahirkan politisi yang dalam sejumlah kasus minim integritas dan kapabilitas. Sorotan paling tajam mengarah pada periode 2014–2024. Sepanjang dekade ini, banyak pihak menilai bahwa kepemimpinan nasional telah menimbulkan kerusakan sistemik di berbagai lini : keuangan, infrastruktur, pelayanan publik, hingga sendi kepercayaan rakyat. Kebijakan negara kerap dipandang lebih mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok tertentu ketimbang kesejahteraan bangsa.
Dugaan Korupsi Sistemik dan Jejak di Puncak Kekuasaan
Yang paling mencemaskan adalah merebaknya dugaan keterlibatan pucuk kepemimpinan dalam praktik korupsi berskala besar. Sejumlah pembantu presiden periode 2014–2024 yang tersangkut kasus korupsi mengaku bertindak atas sepengetahuan, bahkan perintah, pimpinan tertinggi. Sebagian menyebut hasil penjarahan diserahkan langsung kepada presiden. Walau semua ini menunggu pembuktian hukum, kesaksian semacam itu cukup untuk membuka dugaan keterlibatan dalam mega korupsi bernilai ribuan triliun rupiah, sebuah angka yang dapat mengguncang fondasi keuangan negara.
Korupsi adalah "extraordinary crime", kejahatan luar biasa yang tidak bisa diabaikan atau dipetieskan. Karena itu, Kejaksaan Agung, KPK, dan aparat hukum lainnya tidak boleh berhenti pada retorika. Setiap informasi sekecil apapun harus ditelusuri dengan tuntas. Penegakan hukum yang tegas, independen, dan transparan menjadi syarat mutlak untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap institusi negara.
Penjarahan Aset dan Kemandekan Legislasi
Krisis integritas juga tampak di legislatif. Kasus penjarahan aset terhadap sejumlah anggota DPR memperlihatkan bukan hanya karena arogansi kekuasaan, tetapi juga kegagalan DPR memenuhi mandat publik. Lambannya pengesahan RUU Perampasan Aset adalah bukti nyata. Penundaan itu menimbulkan kecurigaan : apakah ada kepentingan untuk memberi ruang bagi pelaku korupsi, termasuk yang berada di puncak kekuasaan 2014–2024, agar sempat menyelamatkan atau mengalihkan harta hasil kejahatan?
Pemerintah bersama DPR harus segera menghentikan sandiwara politik. RUU Perampasan Aset tidak boleh terus dipinggirkan. Undang-undang ini harus lahir sebagai instrumen tajam untuk menutup ruang impunitas, memutus rantai korupsi, dan memastikan aset negara kembali ke pangkuan rakyat.
Beban Rakyat, Ketahanan Publik
Di tengah hiruk pikuk skandal elite, rakyatlah yang paling menderita. Pajak melonjak, tarif barang dan jasa membubung, defisit APBN ditutup dengan beban kebijakan yang menguras dompet masyarakat. Namun, rakyat Indonesia telah menunjukkan ketabahan yang luar biasa. Kesabaran itu jangan sekali-kali ditafsirkan sebagai kelemahan atau lisensi bagi penguasa untuk terus menipu kepercayaan publik.
Menuju Reformasi Sistemik
Krisis integritas yang terus berulang adalah alarm keras bagi bangsa ini. Reformasi parsial tidak cukup, yang dibutuhkan adalah reformasi sistemik. Sistem pemilihan harus kembali menekankan integritas, kapabilitas, dan dedikasi terhadap kepentingan umum, bukan sekadar popularitas dan modal.
Penguatan institusi hukum, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, serta percepatan legislasi antikorupsi adalah pilar utama yang harus segera ditegakkan. Tanpa itu, bangsa ini hanya akan terjebak dalam lingkaran setan pengkhianatan publik.
Indonesia bukan negara sarang bajingan. Rakyat negeri ini berhak atas pemimpin yang jujur, kompeten, dan berani mengabdi. Karena itu, seluruh elemen bangsa, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan masyarakat sipil harus bersatu memastikan bahwa keadilan tidak lagi ditawar, korupsi diberantas sampai ke akar, dan kesejahteraan rakyat menjadi tujuan tunggal dari setiap kebijakan.
Siapapun pemimpin, dia tidak boleh dan dilarang keras menjadi beban masyarakat.
Faktanya, 2014-2025 kepemimpinan nasional bukan hanya nirintegritas dan nirmoral, juga menjadi beban membangun peradaban Indonesia.
Ini buah dari penghianatan dan perburuan tahta dan harta.
Maka wajar jika mereka kuasa tapi terhina.
Jakarta, 07September2025
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #