Gelombang protes yang melanda berbagai kota pada akhir Agustus 2025 meninggalkan jejak kelam bagi demokrasi Indonesia. Alih-alih menjadi ruang ekspresi konstitusional, demonstrasi justru berakhir dengan tindakan represif aparat. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut situasi ini sebagai “darurat kekerasan negara” dan mendesak Presiden, DPR, serta Kapolri bertanggung jawab.
Demonstrasi dan Tuntutan Rakyat
Pada 28–29 Agustus, ribuan buruh, mahasiswa, dan warga sipil turun ke jalan di Jakarta, Medan, Semarang, Solo, Magelang, Bengkulu, Tegal, hingga Manokwari. Mereka menyuarakan tuntutan ekonomi dan politik: kenaikan upah minimum 8,5–10 persen, penghentian PHK massal, penghapusan sistem outsourcing, reformasi pajak, pengesahan RUU Pencabutan Aset, hingga revisi UU Pemilu.
Namun suara rakyat itu dibalas dengan gas air mata, peluru karet, dan tindakan brutal aparat. Menurut catatan YLBHI, setidaknya 113 orang luka serius, 3 orang tewas, dan 734 orang ditangkap. Salah satu korban jiwa adalah Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob.
Kekerasan yang Berulang
Fenomena ini bukan hal baru. Pola represif sudah berulang sejak aksi Reformasi Dikorupsi (2019), protes Omnibus Law (2020), hingga gelombang penolakan proyek strategis di berbagai daerah. Polri dinilai gagal menjalankan prinsip penggunaan kekuatan yang proporsional sebagaimana diatur dalam Perkap No. 1/2009 dan No. 16/2006.
Selain kekerasan fisik, praktik penghilangan paksa dan penangkapan sewenang-wenang juga dilaporkan. Beberapa aktivis sempat “hilang” sebelum akhirnya ditemukan dalam kondisi ditahan tanpa prosedur hukum yang jelas. Tindakan ini mengingatkan pada praktik kelam era 1998, ketika demokrasi masih diperjuangkan dengan darah.
Tak hanya itu, kebebasan pers ikut ditekan. Sejumlah media mengaku mendapat imbauan dari otoritas penyiaran untuk membatasi pemberitaan terkait aksi represif aparat.
Tanggung Jawab Negara
YLBHI menegaskan, konstitusi menjamin hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Oleh karena itu, kekerasan aparat tak bisa dianggap sebagai insiden biasa, melainkan bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
Organisasi masyarakat sipil pun menuntut:
Polri segera menghentikan kekerasan dan mengusut pelaku di lapangan maupun komando.
Komnas HAM menggelar penyelidikan independen atas kasus penyiksaan, penangkapan, dan kematian.
DPR memanggil Kapolri secara terbuka serta mempercepat legislasi terkait perlindungan buruh dan kebebasan sipil.
Presiden menyatakan sikap tegas terhadap tindakan represif aparat, serta mendorong pendekatan non-kekerasan dalam penanganan demonstrasi.
Pemerintah segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan dari Penghilangan Paksa (ICPPED), agar tragedi serupa tak berulang.
Krisis Kepercayaan Publik
Di balik aksi ini, tersimpan persoalan mendasar: krisis kepercayaan publik terhadap negara. Presiden dianggap gagal menunjukkan kepemimpinan moral untuk melindungi rakyat. DPR dipersepsikan lebih sibuk menjaga kepentingan politiknya ketimbang memperjuangkan aspirasi konstituennya. Sementara Polri, yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, justru tampil sebagai instrumen kekuasaan.
Jika tren kekerasan ini dibiarkan, demokrasi Indonesia berisiko tergerus. Alih-alih menjadi ruang perundingan, jalanan bisa berubah menjadi arena konfrontasi tanpa ujung.
Ujian Bagi Pemerintahan Baru
Bagi Presiden Prabowo Subianto yang baru beberapa bulan menjabat, peristiwa ini menjadi ujian serius. Publik menunggu apakah ia akan berpihak pada rakyat yang dijanjikan perlindungan dan kesejahteraan, atau pada aparat yang mengedepankan pendekatan kekerasan.
Pertanyaan kuncinya sederhana: Apakah negara akan hadir untuk melindungi rakyat, atau justru melanggengkan tradisirepresi?
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #