Kerusuhan yang mengguncang Indonesia sejak 25 Agustus 2025 menyingkap sebuah kenyataan pahit: negara gagal mengelola relasi antara kekuasaan dan rakyat. Aksi protes yang semula ditujukan kepada DPR dan elit politik meluas menjadi amok, sebuah bentuk letupan kolektif yang khas dalam sejarah Indonesia ketika frustrasi sosial menumpuk tanpa kanal demokratis yang memadai. Di balik gelombang amarah ini, publik mencatat peran signifikan kepolisian. Bukan sebagai pengendali yang menenangkan situasi, melainkan sebagai sumber kekerasan baru. Hingga kini, tidak kurang dari sepuluh demonstran kehilangan nyawa akibat kebrutalan aparat.
Kebrutalan ini bukan insiden yang berdiri sendiri. Ia bagian dari pola panjang sejak pilpres 2014, tragedi KM 50 Japek, hingga penanganan demonstrasi mahasiswa tahun 2019. Setiap kali publik menuntut akuntabilitas, Polri melenggang tanpa koreksi berarti. Fenomena ini menandai krisis independensi kepolisian dan pergeseran perannya dari alat penegak hukum menjadi instrumen politik.
Esai ini berargumentasi bahwa jika reformasi jilid dua benar-benar menjadi tuntutan sejarah, maka reformasi kepolisian adalah pintu pertama. Salah satu rekomendasi penting datang dari Forum Komunikasi Purnawirawan dan Prajurit TNI (FKP TNI) yang menuntut penempatan Polri di bawah Kementerian Dalam Negerij (Kemendagri). Usulan ini selaras dengan praktik internasional, preseden sejarah, dan kebutuhan demokrasi Indonesia.
Tuntutan FKP TNI itu secara langsung berbunyi sbb:
"Mengembalikan fungsi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai aparat keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)."
Akar Masalah
Polisi modern idealnya merupakan civilian police, aparat sipil yang melindungi warga, bukan tentara dalam seragam lain. Namun dalam praktik Indonesia, kepolisian justru mengadopsi logika politik kekuasaan. Setelah dipisahkan dari TNI pada 1999, Polri ditempatkan langsung di bawah presiden. Kedudukan istimewa ini semula dimaksudkan untuk memperkuat independensi, tetapi dalam realitasnya menjadikan Polri terlalu dekat dengan politik elektoral.
Hubungan langsung antara presiden dan kepolisian membuka ruang patronase. Setiap rezim pasca-reformasi, terutama sejak 2014, memanfaatkan Polri untuk mengamankan agenda politik. Dari penanganan oposisi, kriminalisasi aktivis, hingga pengendalian informasi publik, polisi tampil lebih sebagai pengawal kekuasaan ketimbang pengayom rakyat. Politisasi ini yang melahirkan kebrutalan tanpa koreksi: karena kepolisian tidak bertanggung jawab kepada mekanisme sipil yang lebih luas, melainkan hanya kepada figur presiden.
Kebrutalan Polisi sebagai Gejala Sistemik
Kebrutalan aparat bukanlah sekadar persoalan perilaku oknum. Ia adalah produk sistem yang salah tempat. Ada empat indikator yang menunjukkan kebrutalan Polri bersifat sistemik:
1. Penggunaan kekuatan berlebihan dalam aksi massa.
Setiap gelombang protes besar sejak 2014 diwarnai dengan korban jiwa. Laporan Komnas HAM berulang kali menyoroti pelanggaran, tetapi rekomendasi mereka jarang ditindaklanjuti.
2. Impunity. Kasus pembunuhan enam orang di KM 50 Japek menjadi simbol impunitas. Hingga kini tidak ada kejelasan pertanggungjawaban, sementara aparat tetap bertugas seolah tidak terjadi pelanggaran.
_3. Politisasi hukum._Banyak aktivis oposisi dijerat pasal karet UU ITE atau tuduhan makar, sementara pelanggaran hukum yang melibatkan elit kekuasaan dibiarkan.
4. Degradasi kepercayaan publik. Survei LSI dan Indikator menunjukkan tren menurun dalam tingkat kepercayaan publik kepada Polri sejak 2019, yang semakin merosot setelah kasus Ferdy Sambo (2022) dan kini memuncak di tengah amok 2025.
Lima Alasan Menempatkan Polri di Bawah Kemendagri
Kelima alasan tersebut antara lain:
1. Preseden Internasional. Di banyak negara, kepolisian merupakan bagian dari struktur pemerintahan sipil, umumnya di bawah kementerian dalam negeri. Inggris, Perancis, Jepang, Korea Selatan, bahkan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand menempatkan polisi dalam kerangka akuntabilitas sipil. Model ini memastikan bahwa kepolisian bukan milik presiden semata, melainkan bagian dari birokrasi sipil yang diawasi parlemen.
2. Mengurangi Politisasi Presiden. Kedudukan Polri langsung di bawah presiden membuat hubungan ini sangat personal. Akibatnya, Polri mudah dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral. Dengan menempatkan Polri di bawah Kemendagri, hubungan tersebut menjadi lebih institusional. Presiden tidak bisa langsung mengintervensi operasional, karena harus melalui mekanisme kementerian dan pengawasan parlemen.
3. Meningkatkan Akuntabilitas Publik. Seorang menteri dalam negeri bertanggung jawab secara politik di hadapan parlemen. Jika kepolisian melakukan pelanggaran, maka menteri bisa dipanggil, disidang, bahkan dijatuhkan melalui mekanisme demokratis. Rantai akuntabilitas ini jauh lebih sehat dibanding hanya bergantung pada presiden.
4. Mengakhiri Impunitas. Dengan rantai pertanggungjawaban yang lebih jelas, peluang impunitas berkurang. Kasus kebrutalan bisa dibawa ke DPR untuk dipertanyakan langsung kepada menteri. Dalam sistem yang sekarang, semua tertutup oleh “rahasia presiden” yang sulit ditembus publik.
5. Menjaga Stabilitas Politik . Ironisnya, kebrutalan polisi yang dimaksudkan untuk menjaga stabilitas justru memicu instabilitas yang lebih luas. Amok 2025 adalah buktinya. Dengan menata ulang posisi Polri, negara dapat membangun stabilitas politik yang berakar pada kepercayaan, bukan ketakutan.
Komparasi Reformasi Kepolisian
Sebagai perbandingan disajikan di bawah ini contoh dari 3 negara di dunia. Ketiganya afalah sbb:
Jepang: Reformasi Pasca Perang. Setelah kekalahan dalam Perang Dunia II, Jepang menata ulang kepolisian yang semula sangat sentralistis dan menjadi alat militer. Polisi kemudian ditempatkan di bawah Kementerian Dalam Negeri, dengan sistem desentralisasi di tiap prefektur. Reformasi ini menekan kebrutalan, memulihkan kepercayaan, dan menjadikan polisi bagian dari pembangunan demokrasi.
Korea Selatan: Demokratisasi 1987. Polisi Korea Selatan pada era militer terkenal represif. Reformasi demokrasi menuntut restrukturisasi: polisi tetap di bawah Kementerian Dalam Negeri, tetapi diawasi komisi sipil independen serta parlemen. Hasilnya, tingkat kekerasan berkurang signifikan, dan kepolisian menjadi lebih profesional dalam penegakan hukum.
Inggris: Model Akuntabilitas Publik Polisi di Inggris berada di bawah Home Office. Selain itu, terdapat Police and Crime Commissioner yang dipilih rakyat untuk setiap wilayah, memastikan akuntabilitas langsung. Model ini menunjukkan bahwa kepolisian dapat kuat sekaligus demokratis jika akuntabilitas publik dijalankan serius.
Anomali dan Reformasi Kepolisian
Berbeda dengan praktik internasional, Indonesia menempatkan Polri langsung di bawah presiden, sejajar dengan kementerian. Hasilnya adalah anomali: kepolisian menjadi kekuatan politik tersendiri, sulit diawasi, dan rawan dipolitisasi.
Amok 2025 adalah alarm keras bagi bangsa ini. Jika sejarah berulang, ia bisa menjadi momentum seperti 1998, ketika represi aparat melahirkan tuntutan reformasi. Kali ini, fokusnya bukan sekadar mengakhiri otoritarianisme, melainkan menata ulang arsitektur kepolisian.
Rekomendasi FKP TNI agar Polri ditempatkan di bawah Kemendagri bukan sekadar aspirasi nostalgia Orde Baru, tetapi tuntutan rasional yang sejalan dengan praktik internasional. Langkah ini harus dibarengi dengan:
1. Pembentukan mekanisme pengawasan sipil independen, misalnya Komisi Kepolisian Nasional yang benar-benar kuat dan representatif.
2. Reformasi budaya organisasi, menggeser orientasi dari penguasa-centered menjadi citizen-centered.
3. Reformasi hukum, terutama pembatasan penggunaan kekuatan dan penerapan standar HAM internasional.
Penutup
Kebrutalan polisi adalah gejala dari kesalahan sistemik. Ia tidak akan berhenti dengan pencopotan Kapolri atau pergantian presiden. Tanpa perubahan struktur, Polri akan terus menjadi alat kekuasaan dan sumber instabilitas.
Amok 2025 membuka peluang reformasi jilid dua. Jika kesempatan ini diabaikan, bangsa ini akan terjebak dalam siklus represi dan amok yang berulang. Menempatkan Polri di bawah Kemendagri adalah langkah awal untuk membangun demokrasi yang lebih kokoh, stabilitas yang lebih adil, dan negara hukum yang sungguh-sungguh melindungi rakyatnya.===
Cimahi, 2 September 2025
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #