
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bersama Simpul JATAM Maluku Utara merilis laporan investigatif berjudul “Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara” pada Rabu (29/10). Laporan ini menyoroti konsentrasi kekuasaan dan jaringan bisnis ekstraktif keluarga Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, baik sebelum maupun setelah menduduki jabatan politik di provinsi tersebut.
Koordinator JATAM, Melky Nahar, mengatakan temuan tersebut menunjukkan adanya hubungan erat antara kepentingan politik dan bisnis tambang di wilayah Maluku Utara. Menurutnya, situasi ini membuka ruang konflik kepentingan yang serius dan berpotensi merusak tata kelola sumber daya alam.
“Kami menemukan keterhubungan antara jabatan publik dan kepemilikan perusahaan tambang di wilayah Maluku Utara. Ketika kekuasaan dan bisnis berjalan beriringan, rakyat kehilangan ruang hidupnya,” ujar Melky di Jakarta.
Dalam laporan setebal puluhan halaman itu, JATAM memetakan bagaimana Sherly Tjoanda tidak hanya berperan sebagai aktor politik, tetapi juga sebagai pebisnis tambang yang terafiliasi dengan sejumlah perusahaan di sektor nikel, emas, tembaga, hingga pasir besi. Dukungan pemerintahannya terhadap korporasi tambang dinilai berbanding terbalik dengan nasib masyarakat di lapangan yang justru menghadapi kekerasan, kriminalisasi, intimidasi, serta kehilangan ruang hidup akibat ekspansi industri ekstraktif di berbagai wilayah seperti Maba Sangaji di Halmahera Timur, Pulau Obi, dan Halmahera.
JATAM menilai, narasi pertumbuhan ekonomi dua digit yang kerap diklaim sebagai keberhasilan pembangunan daerah tidak menggambarkan kondisi riil di akar rumput. Pertumbuhan yang digadang-gadang itu justru memperlebar jurang ketimpangan dan memperdalam krisis sosial-ekologis. “Narasi ekonomi yang tumbuh pesat tidak menggambarkan realitas di lapangan. Di balik angka pertumbuhan itu ada deforestasi, pencemaran air, dan hilangnya ruang hidup masyarakat lokal,” ujar Melky.
Dalam laporan tersebut, JATAM juga mengurai jejaring perusahaan yang dikendalikan keluarga Sherly Tjoanda melalui Bela Group, konsorsium bisnis keluarga Laos–Tjoanda yang bergerak di sektor sumber daya alam dan konstruksi. Beberapa perusahaan yang disebut antara lain PT Karya Wijaya (tambang nikel di Gebe), PT Bela Sarana Permai (pasir besi di Obi), PT Amazing Tabara (emas), PT Indonesia Mas Mulia (emas dan tembaga), serta PT Bela Kencana (nikel). Pergeseran kendali perusahaan terjadi pada akhir 2024, ketika Sherly menjadi pemegang saham mayoritas PT Karya Wijaya dengan porsi 71 persen menggantikan mendiang suaminya, Benny Laos. Tiga anak mereka masing-masing memiliki delapan persen saham, menandai transisi kendali bisnis keluarga.
Selain memperkuat posisi di Karya Wijaya, Sherly juga tercatat sebagai direktur dan pemegang 25,5 persen saham di PT Bela Group. Sementara mendiang suaminya masih tercatat memiliki porsi saham di sejumlah entitas, seperti PT Bela Kencana (40 persen), PT Bela Sarana Permai (98 persen), dan PT Amazing Tabara (90 persen). Melalui PT Bela Co, keluarga ini juga menguasai 30 persen saham di PT Indonesia Mas Mulia yang 85 persennya dimiliki Bela Group. Beberapa anggota keluarga lain, termasuk Robert Tjoanda, turut tercatat sebagai pemegang saham minoritas, memperlihatkan keterhubungan bisnis yang terintegrasi di dalam lingkar keluarga.
Wilayah operasi perusahaan-perusahaan ini tersebar luas di Maluku Utara. PT Karya Wijaya, misalnya, memiliki dua izin konsesi nikel: di Pulau Gebe seluas 500 hektare (izin 2020) dan di Halmahera seluas 1.145 hektare (izin Januari 2025). Izin terakhir bertepatan dengan masa pencalonan Sherly dalam Pilgub menggantikan suaminya. Selain nikel, kelompok ini juga aktif di sektor emas dan tembaga melalui PT Indonesia Mas Mulia dengan izin 4.800 hektare di Halmahera Selatan, serta di sektor pasir besi lewat PT Bela Sarana Permai di Pulau Obi yang mengantongi izin seluas 4.290 hektare.
JATAM juga menemukan adanya potensi pelanggaran prosedural dalam penerbitan izin tambang. Beberapa perusahaan diduga masuk ke sistem Minerba One Data Indonesia (MODI) tanpa proses lelang resmi, izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) belum lengkap, serta belum terdapat jaminan reklamasi. Kondisi ini memperlihatkan lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap perusahaan yang terkait langsung dengan pejabat publik.
Melky menyebut tumpang tindih antara kekuasaan politik dan kepemilikan bisnis tambang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan serius. “Ketika pejabat publik menjadi pengendali perusahaan yang beroperasi di wilayahnya sendiri, kebijakan publik akan bias dan pengawasan menjadi lemah,” tegasnya.
Secara hukum, praktik semacam ini bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai pengelolaan konflik kepentingan pejabat publik. JATAM menilai, keterlibatan pejabat daerah dalam struktur kepemilikan atau pengelolaan perusahaan swasta yang beroperasi di wilayahnya berpotensi melanggar etika, hukum, dan kepercayaan publik.
“Ini bukan hanya soal etik, tapi juga legalitas. Ketika pejabat daerah masih memiliki kepentingan bisnis di sektor yang ia atur, maka kepercayaan publik terhadap pemerintahan akan runtuh,” ujar Melky menambahkan.
JATAM mendorong pemerintah pusat, DPR RI, dan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti temuan tersebut dengan memperkuat sistem pengawasan, memastikan transparansi izin, dan melindungi masyarakat yang terdampak. Di tengah maraknya investasi tambang di Maluku Utara, laporan ini menjadi alarm bagi publik agar pertumbuhan ekonomi tidak sekadar diukur dari angka, tetapi juga dari sejauh mana kekuasaan dijalankan tanpa konflik kepentingan.
“Gurita bisnis di balik kekuasaan bukan sekadar metafora politik. Ia mencerminkan bagaimana sumber daya alam di Maluku Utara tengah dikapitalisasi melalui jejaring kekuasaan — sebuah ironi di tengah janji kesejahteraan,” kata Melky Nahar.
Namun, sampai berita ini ditayangkan belum ada keterangan resmi dari Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda.