JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pelaksana tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki mengatakan antara penegak hukum dan kehakimam harus mempunyai komitmen bersama dalam memberikan efek jera pada narapidana koruptor.
Ruki menjelaskan, selama ini dalam memberikan efek jera hanya bertumpu pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dengan pembatasan remisi hari raya. Ruki berharap, kedepannya hakim jangan hanya melakukan vonis hukum tapi juga memberikan efek jera.
Pembatasan ini, menurutnya, diharapkan memberi efek deterrent agar masyarakat tak berani mengikuti tindak pidana para koruptor.
"Sehingga jika kehakiman dan penegak hukum satu komitmen wujudkan efek jera dan deterrent, apakah itu mau dimiskinkan, mau dicabut hak-haknya yang lain seperti hak politik, hak melakukan pekerjaan tertentu atau hak apapun termasuk hak untuk mendapatkan remisi ketika menjadi terpidana. Itu semua harus dinyatakan dalam vonis. Hakim pada persidangan yang mengadilinya sebagai sebuah hukuman tambahan, dan itu ada dalam makna keadilan," ujar Ruki (13/7/2015).
Tambah Ruki, remisi hukuman untuk para koruptor ini tidak bisa diserahkan begitu saja ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham. Alasannya, Dirjen Pemasyarakatan selaku 'pengasuh' napi korupsi pasti
menyamakan hak semua napi sesuai dengan aturan yang ada.
"Sedangkan yang diatur dalam peraturan apakah UU apalagi PP, sebaiknya tidak mengandung hal-hal yang bersifat diskriminatif, tidak membeda-bedakan antar sesama warga negara atau subyek dari UU atau peraturan
tersebut," jelas dia.
Untuk itu, Ruki meminta kepada kehakiman dapat memutuskan berbagai perkara tindak pidana korupsi yang tegas, keras dan konsisten setiap putusan. Tidak hanya pada kasus korupsi tapi juga kasus narkoba.
"Jadi menurut saya pribadi tentang remisi terhadap napi dibatasi hendaknya dinyatakan dalam vonis hakimnya. Ya diputusan pengadilannya, harus keras dan tegas, jangan permisif," ungkapnya. (mnx)