JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyerahkan sepenuhnya kepada DPR terkait usulan pemerintah untuk kembali menghidupkan pasal penghinaan terhadap presiden.
"Ya terserah. Kalau kita lihat di negara lain, (presiden) sebagai symbol of state. Itu ada semuanya. Tapi kalau di sini memang inginnya tidak, ya terserah. Itu kan nanti di wakil-wakil rakyat itu," kata Presiden Jokowi di kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (5/8/2015).
Orang nomor satu di Indonesia itu mengutarakan, bukan hanya pemerintahan saat ini saja yang mengusulkan pasal tersebut, pemerintah lalu pun mengajukan aturan itu. (Baca juga: Fahri Hamzah: Apakah Presiden Jokowi Lambang Negara?)
Jokowi mengklaim, justru dengan pasal-pasal yang lebih jelas seperti itu, ketika seseorang ingin mengkritisi dan memberikan koreksi terhadap pemerintah bisa lebih jelas.
"Tapi kalau tidak ada pasal itu bisa dibawa ke pasal-pasal 'karet'," tukasnya.
Diketahui, pasal penghinaan Presiden telah dihapuskan Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai membahayakan bagi kehidupan demokrasi. Namun, Presiden Jokowi kembali mengusulkan pasal itu ke DPR untuk dihidupkan lagi dalam RUU KUHP.
Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang diajukan ke DPR berbunyi; Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Ruang lingkup Penghinaan Presiden diperluas lewat RUU KUHP Pasal 264; Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal itu dalam UU KUHP sudah dihapus oleh MK pada 2006 bahkan MK juga memerintahkan pemerintah dan DPR menghapus norma itu dari RUU KUHP.(yn)