JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Kejaksaan Agung dalam perkara penyelewengan dana beasiswa Supersemar dengan tergugat mantan Presiden Soeharto dan ahli warisnya, serta Yayasan Beasiswa Supersemar.
Hal itu mendapat tanggapan dari putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau yang akrab dipanggil Tommy Soeharto.
Melalui akun facebooknya, Hutomo Mandala Putra, Selasa (11/8/2015), Tommy menulis, "Berarti lulusan terbaik penerima Beasiswa sejak th 70 harus urunan nih, hitung2 untuk tambah biaya kampanye yang akan datang," kata dia.
Tommy menjelaskan, Yayasan Beasiswa Supersemar itu untuk membiayai pendidikan putra putri tanah air.
“Bukan membiayai komunis, apa itu yang membuat keberatan?,” tanyanya.
Pendiri organisasi kemasyarakatan (ormas) Himpunan Masyarakat Peduli Indonesia (HMPI) ini menantang pemerintah apa sudah siap menghadapi gugatan dari para penerima beasiswa Supersemar yang sudah menjadi orang besar.
“Bahkan di lingkungan anda sendiri ada beberapa penerima dana bantuan beasiswa tersebut,” tulisnya.
Selanjutnya ia mengemukakan, beasiswa untuk masyarakat sejak tahun 70-an diminta dikembalikan.
“Kalau dana BLBI cukup diendapkan saja, maklum takut kena Jewer. “Ini pembenaran yang salah berkedok dendam,” kritiknya,
BLBI yang dimaksud Tommy adalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri disebut-sebut terlibat dalam kasus BLBI yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 600 triliun tersebut.
Seperti diketahui, kasus beasiswa Supersemar bermula saat Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1976 yang menentukan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar.
PP inilah yang membuat Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser mendapat gelontoran dana sebesar USD 420 juta dan Rp185 miliar. Dana besar yang seharusnya untuk membiayai dana pendidikan rakyat Indonesia tersebut ternyata diselewengkan.
Setelah Soeharto tumbang pada Kamis 21 Mei 1998, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diwakili Kejaksaan Agung (Kejagung) menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Kejagung membutuh waktu bertahun-tahun untuk menjerat Soeharto dan mengembalikan uang rakyat tersebut. Korps Adhyaksa pun baru berhasil memenangkan gugatan di PN Jaksel pada 27 Maret 2008. Gugatan ini dikuatkan di tingkat banding dan kasasi.
Namun saat kasasi, terjadi salah ketik. Seharusnya Yayasan Supersemar diwajibkan membayar 75 persen dikali USD 420 juta atau sama dengan USD 315 juta dan 75 persen dikali Rp185.918.904.000 sama dengan Rp 139.229.178.000. Tetapi, putusan kasasi tertulis justru Rp 185.918.904.
Kesalahan ketik ini pun membuat putusan tidak dapat dieksekusi.
Kemudian, jaksa melakukan PK pada September 2013. Dalam PK ini, Jaksa Agung saat itu, Basrief Arief memasukkan ahli waris keluarga Soeharto untuk bertanggung jawab, karena Soeharto telah meninggal dunia.
Tanggal 8 Juli 2015 Mahkamah Agung lalu mengabulkan permohonan Pemohon PK yaitu Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia terhadap termohon tergugat HM Soeharto alias Soeharto (ahli warisnya) dan kawan-kawan.
Soeharto dan ahli warisnya serta Yayasan Supersemar harus membayar 315 juta dollar Amerika Serikat dan Rp 139,2 miliar kepada negara. Apabila 1 dollar AS sama dengan Rp 13.500, uang yang dibayarkan mencapai Rp 4,25 triliun ditambah Rp 139,2 miliar atau semuanya Rp 4,389 triliun.(yn)