Di dunia, tagar #PrayForParis menjadi yang paling banyak digunakan dengan total lebih dari 9,9 juta kicauan sebagai bentuk ungkapan duka dan simpati.
Kemarahan pengguna media sosial tampak dalam tagar #TerorismHasNoReligion (terorisme tidak punya agama).
"Itu hanya perbuatan orang bodoh yang sudah dicuci otaknya untuk membunuh dan menciptakan horor di belahan Eropa #PrayForParis," kata Cindy Raswadi.
Namun apakah semua orang bersimpati terhadap Paris? Dalam percakapan yang terjaring di media sosial, jawabannya tidak demikian.
Salah satu yang menjadi perdebatan hangat adalah tentang reaksi media massa dan netizen terhadap teror di Paris yang dianggap berlebihan (misalnya dengan melapis bendera Prancis di profil Facebook atau ikut menggunakan tagar #PrayForParis).
"Kalau Paris mengalami kekejaman luar biasa terus Palestina, Irak, Suriah, Gaza apa ya?" kata Lilyana Dean melalui Facebook BBC Indonesia.
"Ahh... dunia terlalu berlebihan terhadap Paris. Di Palestina manusia dibantai tapi dunia pura-pura tidak tahu," kata satu pengguna Twitter.
Opini-opini ini kemudian juga didebat oleh berbagai kalangan. Beberapa menilai bahwa serangan Paris mengejutkan karena terjadi di tempat yang justru dianggap aman. Di negara-negara konflik "hal itu (dianggap) sudah menjadi hal biasa saja" kata Jim Allen Abel dari Facebook BBC Indonesia.
Matahari Timoer, pegiat Indonesian Center For Deradicalisation dan Wisdom (ICDW) mengatakan reaksi 'kurang simpatik' memang tampak di percakapan dunia maya di Indonesia.
"Banyak yang melihat bahwa Prancis memang juga melakukan andil dalam serangan-serangan di dunia Islam (yang menewaskan banyak korban sipil)," katanya.
Respon yang tidak simpatik ini datang tidak hanya dari penggemar ISIS di Indonesia tetapi juga dari kalangan anti-ISIS yang juga anti terhadap kebijakan Prancis di Timur Tengah.
Toleran yang tak Bersuara
Namun Matahari Timoer mengatakan media sosial tidak bisa mencerminkan opini masyarakat Indonesia secara umum karena tidak banyak kelompok-kelompok toleran yang bersuara di media sosial.
"Secara kultural saya rasa banyak yang simpati. Kita ukur saja secara acak, jamaah NU lebih banyak dibanding jamaah yang suka mengkafirkan orang lain. Jamaah Muhammadiyah yang toleran dengan kebhinekaan juga lebih banyak dari orang yang pro-ISIS, pro-Arab dan anti-Ahmadiyah.
"Sayangnya yang toleran tidak bermain masif di media sosial, jadi yang kita lihat di media sosial yang dominan adalah yang orang yang intoleran, yang radikal, dan yang pro dengan Khilafah Islamiyah. Begitupun dengan situs-situsnya, traffic lebih tinggi di media dengan konten intoleransi, dibanding NU dan Muhamadiyah, hancur sekali traffic-nya."
Propaganda ISIS sudah sangat berhasil di media sosial, namun sejumlah pakar mengatakan kemungkinan terjadi tindakan di Indonesia tergolong kecil.
Pasalnya, pola rekrutmen fundamental di Indonesia tidak berubah secara radikal walau propaganda ISIS cukup berhasil, lapor Institute for Policy Analysis of Conflict.
Dalam laporan pada akhir Oktober lalu, IPAC menyebut bahwa interaksi tatap muka masih sangat penting. "Jika ada perubahan dramatis melalui media sosial, jumlah warga Indonesia yang bergabung dengan ISIS akan semakin besar."
"Angka pejuang asal Indonesia (di ISIS), bahkan dengan taksiran BNPT sebanyak 800 orang, yang tampak sangat tinggi, masih sangat jauh dibanding pejuang asing ISIS per juta penduduk yang berasal dari Belgia, Inggris, dan Denmark." (iy/bbc)