Sistem informasi dan data tentang keagamaan di Indonesia sangat buruk, sehingga harus segera dibenahi. Hal ini bisa dilihat dari mencuatnya kasus Gafatar yang ketika kasus ini meletup, para pemangku kepentingan kebingungan dan kurang sinkron dalam menanganinya. Inisiatif membongkar gerakan tersebut justru muncul dari masyarakat dan media.
Jika sistem informasi dan data sudah terbangun baik, mestinya kasus banyaknya orang hilang dan pembakaran permukiman mereka di Kalimantar Barat tidak akan terjadi. Jika sistem informasi dan data baik juga tidak akan ada kebingunan pemerintah dalam menangani pasca-pengusiran mereka dari Kalimantan Barat. Bahkan jika sistem informasi dan data terkelola baik, kejadian-kejadian tersebut bisa dicegah sebelumnya.
Para pemangku kepentingan (stakeholders) seperti pemerintah lewat Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan BIN, Pemda, Majelis Ulama Indonesia, ormas seperti NU dan Muhammadiyah, dan lainnya, seharusnya memilki informasi dan data tentang gerakan Gafatar secara baik karena Kemendagri tahun 2012 sudah melarangnya. Dalam kasus Gafatar, para pemangku kepentingan tersebut telah kecolongan.
Kenapa persoalan Gafatar baru ditangani setelah kasusnya meledak? Itupun informasi awal diinisiasi oleh masyarakat yang mengekspose lewat media sosial. Yaitu setelah seorang dokter di Jogja yang kehilangan istri dan anaknya, lalu mencarinya dengan mengunggah foto lewat media sosial. Setelah pengunggahan di medsos pun yang bergerak justru media massa dan medsos, dan bukannya para pemangku kepentingan secara terkelola. Akibatnya timbul suasana panas lalu terjadi pembakaran permukiman mereka di Kalbar.
Seharusnya semenjak organisasi tersebut dilarang tahun 2012, baik Kemendagri, Kemenag, dan BIN sudah memiliki data tentang arah aliran keyakinan mereka, data mantan pengurus dan anggotanya, jenis dan lokasi kegiatan mereka, serta migrasi ke daerah mana. Demikian pula bagi Pemda, mereka mestinya memiliki data kependudukan di wilayahnya. Dalam kasus di Kalbar, kenapa Pemprov tidak mengetahui ada permukiman baru yang sudah berbulan-bulan di wilayahnya? Sampai kemudian terjadi anarki berupa pembakaran.
Lembaga seperti MUI juga tak berperan baik. Apa yang mereka kerjakan selama ini terhadap gerakan dan keyakinan seperti Gafatar? Mestinya MUI memiliki informasi dan data tentang kelompok seperti ini. Jangan-jangan ada kelompok lain yang seperti Gafatar yang tak terdata. MUI saat ini sepertinya hanya menjadi juru stempel tentang halal-haram makanan dan sesat atau tidak sesatnya suatu aliran. Mestinya MUI bergerak jauh lebih luas dari itu, yaitu masuk ke kegiatan pencegahan.
Ormas seperti NU dan Muhammadiyah juga tidak memiliki early warning system terhadap munculnya kelompok-kelompok keyakinan yang berada di masyarakat, akibat tidak membangun sistem informasi untuk hal ini. Mereka tidak memiliki informasi dan data yang akurat sehingga tidak bisa bergerak ke arah pencegahan. Akibatnya semuanya kecolongan dengan meletusnya kasus Gafatar. <>
Abdulhamid Dipopramono – Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) RI
TeropongKita adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongKita menjadi tanggung jawab penulis.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #gafatar