JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pengamat Kebijakan Publik Budgeting Metropolitan Watch (BMW), Amir Hamzah meminta komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bersikap ambigu dalam kasus 'perjanjian preman' antara Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan pengembang reklamasi.
"Ingat, kalau KPK bersikap ambigu, maka masyarakat bisa berasumsi bahwa komisioner KPK telah diperalat oleh Ahok untuk merusak lembaganya sendiri," kata Amir, Jakarta, Kamis (26/5/2016).
Diketahui, dalam beberapa kesempatan ketua KPK Agus Raharjo dengan lantang mempermasalahkan kebijakan yang oleh Ahok disebut sebagai diskresi.
Meskipun, Ahok beberapa kali juga berupaya membela diri terhadap suatu kebijakan yang belakangan disebut-sebut dengan skandal barter megaproyek reklamasi.
Amir menilai, pernyataan Ahok tersebut sama saja telah membodohi masyarakat, karena 'perjanjian preman' jelas melanggar UU Nomor 27 Tahun 2007 dan UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Apalagi, kata Amir, 'perjanjian preman' itu diketahui dikeluarkan pada 18 Maret 2014, dimana saat itu Ahok masih menjabat sebagai wakil gubernur.
Dengan kata lain, tambah Amir, dalam kasus ini Ahok juga bisa disebut telah mengkhianati Gubernur DKI saat itu, Joko Widodo.
"Penyalahgunaan wewenang 'perjanjian preman' ala Ahok sama saja dengan pemerasan atau gratifikasi. Makanya saya minta komisioner KPK bicaranya jangan bolak balik kayak kasus Sumber Waras," pesan Amir. (icl)