JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Politik pencitraan terasa sangat kental mewarnai praktik politik dalam dua periode politik terakhir. Mengherankan, politik pencitraan yang dimulai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru dilanjutkan oleh Presiden Jokowi dengan gaya berbeda.
Pengamat politik Muhammad Nasih menilai, politik pencitraan yang dilakukan oleh Jokowi lebih masif dan lebih manipulatif. "Politik pencitraan tersebut menyebabkan politik gagal menjadi sarana untuk menata negara. Kepemimpinan yang seharusnya diisi oleh mereka yang baik dan berprestasi, diganti oleh orang yang seolah-olah baik namun tidak berprestasi atau medioker," ujar Nasih di Jakarta, Sabtu (27/12/2014).
Berbincang mengenai refleksi akhir tahun dengan TeropongSenayan, Nasih menambahkan, sejatinya politik pencitraan hanyalah rekaan media dengan agenda setting tertentu yang didesain oleh kekuatan kapital besar untuk menyesatkan pandangan masyarakat yang berujung kepada pilihan politik mereka yang keliru. Ujungnya, lanjut Nasih, yang merugi adalah negara dan masyarakat sendiri.
Nasih mendesak agar para pelaku politik menghentikan praktik politik pencitraan agar kekeliruan dalam menata negara dapat segera dihentikan. Para pemilik kapital diimbau untuk tidak melakukan rekayasa opini publik dengan menggunakan media massa.(ris)