NKRI mestinya jadi negara hukum (rule of law). Namun, Jokowi-Ahok menghantar negeri ini ke posisi "state of blurry".
Kepastian dan penegakan hukum berimplikasi pada economic development. Ekonom FA. Hayek menganalisa praktek Rule of Law (Etat de droit) bermanfaat bagi sistem free-market. China dan Vietnam diharuskan menjadi negara rule of law seiring proses transisi free-market economy.
Tidak berlebihan bila Brian Tamanaha menyatakan "The rule of law is a centuries-old ideal."
Hanya backward country seperti North Korea tetap mengadobsi "Stalinis state", dan mencampakan konsep rule of law.
Jokowi berkali-kali melindungi Ahok. Sebelum soal penistaan agama, Jokowi memberi instruksi jangan tangkap pejabat karena melakukan diskresi. Ahok memelintir diskresi sekehendak hati. Denny JA sempat protes. Tidak digubris. Indonesia lama kelamaan bisa menjadi "Jokowist State", tidak lagi adobsi negara nomocracy ketika hukum tidak lagi menjadi panglima.
Padahal, jauh-jauh hari kita tidak lagi menerima konsep the devine rights of kings, autocracy, dictatorship mau pun oligarchy.
Publik bingung melihat manuver Presiden Jokowi belakangan ini. Pasca "reaksi damai" jutaan mujahid 4/11. Jokowi tampak seperti 'orang bingung'.
Alih-alih memperingati Kapolri akibat terkesan melindungi Ahok (penista agama), Jokowi malah rilis serangkaian roadshow (yang gagal).
Jokowi gagal melunakan sikap PBNU dan PP Muhamadiyah. Malahan Dewan Pertimbangan MUI bersama 70 Ormas Islam menguatkan sikap keagamaan MUI, PBNU dan Muhamadiyah.
Setelah gagal, Jokowi bikin blunder lain. Ia bersafari ke Mabes AD, Kopassus, Mako Brimob Kelapa Dua, Markas Marinir Cilandak. Ray Rangkuti (Direktur Eksekutif LIMA Indonesia) mengecam manuver Jokowi ini. Publik melihat Jokowi hendak membenturkan TNI dengan rakyat.
Ray Rangkuti bilang Jokowi keliru saat menyatakan "negara tidak boleh kalah". Padahal kecaman publik tertuju kepada Pemerintahan Jokowi, bukan terhadap negara.
Jokowi tidak memainkan peran sebagai "kepala negara" saat Ahok menggusur warga. Jokowi berkelit di balik otonomi daerah. Sebagai "Kepala Negara", mestinya dia bisa menstop kebijakan gubernur yang memiskinkan rakyatnya.
Namun ketika perannya sebagai "kepala pemerintah" dipertanyakan, Jokowi memaknai itu sebagai "serangan terhadap negara".
Bila Jokowi hendak memposisikan diri sebagai hukum (legibus solutus) maka itu awal dari krisis. Investor akan takut masuk. Karena penista agama tidak dihukum sehingga memicu public unrest.
Saya kira, kembali ke konsep negara hukum (Rechtsstaat) adalah solusi. Sebaiknya, kita sekali lagi menghayati ajaran Aristotle di bawah ini:
"It is more proper that law should govern than any one of the citizens: upon the same principle, if it is advantageous to place the supreme power in some particular persons, they should be appointed to be only guardians, and the servants of the laws."(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #zeng-wei-jian