JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Analisa Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bahwa banyak negara iri terhadap kekayaan alam dan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga Bhinneka Tunggal Ika terancam perpecahan 'diamini' atau diyakini benar.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Arief Poyuono menengarai, serangan asing terhadap perekonomian salah satunya melalui rencana revisi PP 52 dan 53 terkait Penurunan Tarif Interkoneksi dan terkait Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio.
"Pernyataan Panglima benar, bahkan bukan hanya iri tapi juga ingin merampok Indonesia. Apalagi saat keadaan pertumbuhan Ekonomi dunia memburuk, Presiden Joko Widodo berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi domestiknya tetap stabil," kata Arief dalam keterangannya, Sabtu (12/11/2016).
"Revisi PP 52 dan 53, mengancam kedaulatan NKRI, karena spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas yang seharusnya dikuasai negara menjadi dikuasai asing," tandasnya.
Dikatakan, sebagai negara berkembang memang wajar pertumbuhan di sektor telekomunikasi yang tinggi sangat menarik bagi korporasi asing untuk dapat menikmati pertumbuhan sektor telekomunikasi Indonesia dengan modal kecil tapi untung besar.
"Sedangkan rencana revisi PP 52 dan 53 terkait Penurunan Tarif Interkoneksi dan terkait Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan yang kental dengan kepentingan korporasi asing untuk menipu, Presiden Joko Widodo dan Menteri BUMN," kata Arief.
Maka itu, ia menilai, adanya dalih revisi kedua PP tersebut agar lebih menarik korporasi asing untuk memuaskan korporasi asing masuk ke sektor telekomunikasi merupakan jebakan licik.
Sebab, menurut Arief, revisi kedua PP tersebut memang akan menarik asing untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia untuk merampok 'kue' ekonomi Indonesia.
Menggunakan modal kecil untung besar caranya dengan mempengaruhi pengambil kebijakan pemerintah untuk membuat dan merevisi regulasi yang menguntungkan asing dan mematikan usaha korporasi lokal.
"Jelas betul bahwa revisi PP 52 dan 53 hanya menguntungkan asing yang tidak mau mengucurkan modal untuk membangun jaringan telekomunikasi secara menyeluruh dan merata di Indonesia," ujar Arief.
Masih, kata dia, Revisi PP 52 dan 53 membuat operator telekomunikasi menjadi semakin malas membangun, sehingga mengakibatkan pembangunan jaringan telekomunikasi tidak menyeluruh dan tidak merata hingga ke pelosok negeri.
Akibatnya, persaingan usaha menjadi tidak sehat, terdapat perjanjian antar operator telekomunikasi terkait pengaturan produksi, harga maupun penguasaan pasar.
Dengan demikian dapat merugikan BUMN sektor telekomunikasi yang telah mengeluarkan investasi besar untuk membangun jaringan telekomunikasi dengan nilai kerugian dalam 5 tahun mencapai Rp 200 triliun.
"Dengan kerugian BUMN, maka kerugian negara akibat revisi PP 52 dan 53 mencapai Rp 100 triliun dalam 5 (lima) tahun," jelasnya.
Selain merugikan BUMN dan negara, revisi PP 52 dan 53 juga berdampak buruk bagi masyarakat khususnya di wilayah non-profit, karena tidak terpenuhinya hak masyarakat terhadap akses telekomunikasi.
"Ketentuan dalam revisi PP 52 dan 53 bertentangan dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU 36/1999), sehingga jika dipaksakan akan batal demi hukum melalui judicial review," ujarnya.
Karenanya, FSP BUMN bersatu mendesak Presiden Joko Widodo yang membawa misi perekonomian Trisakti dan Nawacita untuk membatalkan revisi PP 52 dan 53.
Pihaknya mengapresiasi perjuangan Kementerian BUMN yang telah berusaha menolak revisi kedua PP tersebut karena banyak dampak negatif bagi ekonomi nasional dan BUMN sektor telekomunikasi.
"Sebab dibalik semua itu adalah cara-cara asing untuk merusak perekonomian Indonesia dengan mengunakan antek-anteknya di Menko Perekonomian dan Menkominfo," tuntasnya.(yn)